Penulis: Ramdan Buhang, SP
Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sedang menjadi panggung drama yang tidak terlalu menghibur. Ada empat pasangan calon yang bersaing, tetapi justru suasana kampanye yang seharusnya penuh gagasan malah diwarnai dengan serangan tanpa dasar dari beberapa oknum Juru Kampanye (Jurkam). Mereka lebih sibuk menciptakan kegaduhan daripada memberikan pencerahan bagi masyarakat. Dari semua kandidat ada, pasangan Dr. Sirajudin Lasena-Moh. Aditya Pontoh (SJL-MAP) menjadi target utama hujatan dari jurkam-jurkam pesaing yang seolah kehilangan akal sehat.
Selama tahapan kampanye, saya sudah menonton setidaknya dua video dari dua jurkam yang berbeda. Isi videonya sama: serangan yang tidak substansial. Sang jurkam berteriak lantang, membusungkan dada seolah-olah yang mereka katakan adalah kebenaran mutlak. Namun, apa yang mereka lakukan sebenarnya? Hanya mempertontonkan kebodohan mereka sendiri, seolah-olah lupa bahwa masyarakat bisa menilai sendiri apa yang sedang terjadi.
Para jurkam ini terlihat sangat berusaha menunjukkan diri mereka sebagai yang paling pintar, paling tahu, dan paling peduli. Tapi apa yang tampak? Kebalikannya. Mereka lebih mirip anak kecil yang iri karena tidak mendapatkan perhatian, lalu menyerang siapa saja yang dianggap sebagai saingan. Mereka tidak menyadari bahwa orasi-orasi penuh kebencian ini justru tidak mencerminkan kebesaran, melainkan menunjukkan betapa kecilnya pikiran mereka.
Jika para jurkam ini mau sejenak berhenti dan belajar dari kehidupan sehari-hari, mereka mungkin bisa mengambil pelajaran berharga dari para penjual ikan di pasar tradisional. Di sana, para penjual ikan berjualan berdampingan, tapi mereka tidak saling menjatuhkan. Mereka tidak perlu berteriak, “Ikan di sebelah sudah busuk, jangan beli di sana!” Mereka cukup fokus mempromosikan keunggulan dagangan mereka sendiri. Mereka tahu, pembeli punya mata, punya hidung, dan punya akal untuk menilai sendiri mana yang terbaik.
Namun, para jurkam di Pilkada ini tampaknya menganggap masyarakat bodoh dan mudah digiring. Mereka berpikir bahwa dengan menghujat dan menyerang, masyarakat akan langsung percaya dan meninggalkan lawan. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat kini lebih cerdas dan bisa melihat siapa yang menawarkan solusi nyata dan siapa yang hanya bisa berkoar-koar tanpa isi.
Lucu melihat bagaimana para jurkam ini berpikir bahwa suara yang lantang bisa menutupi kekosongan isi kepala mereka. Padahal, jika kamu tidak punya hal baik untuk disampaikan, lebih baik diam dan biarkan kandidat yang kamu dukung berbicara melalui program-programnya. Daripada menghabiskan energi untuk menyerang, bukankah lebih bijak untuk membicarakan hal-hal yang benar-benar penting bagi masyarakat?
Mungkin, para jurkam ini sebenarnya takut. Takut bahwa jika calon yang mereka usung diadu secara adil, masyarakat akan melihat siapa yang sebenarnya punya kualitas dan siapa yang hanya penuh janji kosong. Mereka takut bahwa masyarakat akan menyadari, di balik orasi-orasi panas mereka, hanya ada kekosongan yang besar.
Jadi, kamu para jurkam, mau sampai kapan terus mempertontonkan kebodohan seperti ini? Masyarakat tidak lagi bisa dibodohi dengan isu murahan dan tudingan tanpa dasar. Jika kamu benar-benar peduli pada daerah ini, hentikanlah drama tak berkelas itu. Belajarlah dari penjual ikan yang tahu bahwa rezeki tak akan tertukar, dan kualitas dagangan akan bicara sendiri. Sebab, di dunia politik seperti di pasar, pada akhirnya yang menang bukan yang paling nyaring menghina, tapi yang paling tulus menawarkan yang terbaik.
Posting Komentar untuk "Belajarlah dari Penjual Ikan: Untukmu, Jurkam yang Gemar Memamerkan Kebodohan"