Foto bersama Ibu Ayu Ngadi dan Siswa |
Di balik senyum tulus seorang guru, sering tersembunyi perjuangan dan pengorbanan yang tak terlihat oleh mata. Begitulah kisah Ayu Ngadi, seorang Guru Bantu di SDN 1 Bintauna, yang selama 14 tahun telah mencurahkan segenap hati dan tenaganya demi mendidik generasi penerus bangsa. Namun, pengabdian yang panjang itu berujung pada air mata dan ketidakadilan yang memilukan.
Ayu dikenal sebagai sosok yang kreatif dan peduli terhadap murid-muridnya. Meski statusnya hanya sebagai Guru Bantu, ia tak pernah setengah hati dalam mengajar. Tahun ini, Ayu merencanakan sesuatu yang istimewa untuk siswanya. Ia mengumpulkan dana pribadi untuk membeli hadiah dan piagam penghargaan. Semua itu dirancang untuk memotivasi siswa yang telah berprestasi dalam berbagai bidang, mulai dari Olimpiade Sains, lomba menyanyi, hingga hafalan Alquran dan ayat Alkitab.
Rencananya sederhana, tapi bermakna — hadiah itu akan diserahkan pada momen pembagian buku laporan pendidikan. Hari Senin, 16 Desember 2024, menjadi tanggal yang dipilih setelah disepakati bersama oleh seluruh guru dan Kepala Sekolah. Kegiatan ini dirancang di luar ruangan agar suasana lebih hangat dan bisa disaksikan oleh para orang tua siswa.
Namun, apa yang terjadi justru menjadi mimpi buruk bagi Ayu. Ketika acara dimulai, Kepala Sekolah, Rasman Daeng Taleba, tiba-tiba datang dengan amarah yang meledak-ledak. Di depan murid dan orang tua, ia membanting pintu, merontak, dan memerintahkan semua orang untuk masuk ke kelas. Ayu yang tak tahu apa alasan kemarahan itu hanya bisa terpaku, bingung dengan situasi yang di luar dugaan.
“Padahal semuanya sudah direncanakan bersama. Saya hanya ingin memberikan semangat kepada anak-anak untuk terus berprestasi,” ujar Ayu dengan mata berkaca-kaca saat menceritakan insiden itu.
Namun, itu belum seberapa. Dua hari kemudian, Ayu harus menghadapi kenyataan yang lebih pahit. Ia diusir dari rumah dinas guru oleh Kepala Sekolah. Semua barang-barangnya dipaksa keluar, pintu rumah dinas dikunci rapat, begitu pula pagar rumah. Ayu yang tidak memiliki tempat tinggal lain akhirnya menumpang di rumah seorang sahabat di Desa Saleo, Kecamatan Bolangitang Barat.
“Saya hanya ingin melakukan yang terbaik untuk anak-anak. Semua hadiah itu saya beli dengan uang sendiri, bukan dari dana sekolah,” tuturnya sambil menangis.
Sampai saat ini, sebagian hadiah yang tak sempat diberikan masih berada di tangan Ayu. Niat baiknya untuk menghargai siswa-siswa berprestasi berubah menjadi luka yang mendalam.
Apakah ini wajah pendidikan kita? Seorang kepala sekolah yang seharusnya menjadi panutan justru bertindak layaknya penguasa tiran, tanpa memikirkan dampak emosional yang ia tinggalkan pada anak-anak, guru, dan orang tua.
Ayu bukanlah seorang pejabat penting. Ia tidak memiliki panggung besar untuk menyuarakan penderitaannya. Tetapi tindakannya berbicara lebih keras daripada apa pun yang bisa dikatakan Rasman. Ketika seorang kepala sekolah sibuk dengan egonya, Ayu sibuk dengan pengabdian. Ketika kepala sekolah membanting pintu, Ayu membuka hati.
Barangkali, Rasman lupa bahwa tugas seorang pemimpin adalah melayani, bukan mengintimidasi. Barangkali, ia lupa bahwa seorang guru tidak hanya mendidik dengan buku, tetapi juga dengan teladan. Atau mungkin, ia tidak pernah benar-benar memahami apa artinya menjadi pendidik sejati.
Kisah ini mengajarkan kita untuk bertanya: Apakah kita benar-benar menghargai guru-guru kita, atau kita hanya memberikan penghormatan kepada mereka yang memiliki jabatan? Ayu Ngadi tidak meminta pujian, tidak meminta pangkat, ia hanya ingin menjalankan tugasnya dengan cinta. Tetapi bahkan cinta pun dihukum dalam sistem yang salah urus.
Kini, bola ada di tangan Dinas Pendidikan. Apakah mereka akan membiarkan kasus ini berlalu begitu saja, atau mereka akan berdiri untuk membela seorang guru yang telah memberikan begitu banyak, tetapi menerima begitu sedikit? Satu hal yang pasti, keadilan tidak akan datang dengan sendirinya. Ia membutuhkan suara-suara kita untuk menuntutnya.
Kisah ini mencerminkan betapa kerasnya perjuangan seorang guru yang berada di garis depan pendidikan. Ayu tidak hanya mendidik, tapi juga berusaha menjadi inspirasi bagi murid-muridnya. Namun, apa yang ia dapatkan? Perlakuan yang tidak hanya mencoreng harga dirinya, tapi juga menyayat hatinya.
Sebagai masyarakat, kita perlu merenungkan kejadian ini. Mengapa seseorang yang telah mengabdi begitu lama justru diperlakukan seperti ini? Di mana letak empati dan penghargaan kita terhadap mereka yang mencurahkan hidupnya untuk pendidikan?
Kini, semua mata tertuju pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Apakah mereka akan bersikap adil dan memulihkan nama baik Ayu? Ataukah insiden ini akan berlalu begitu saja, meninggalkan luka yang sulit sembuh?
Kepada Ayu Ngadi, kisahmu adalah pengingat bahwa dunia pendidikan membutuhkan lebih banyak sosok seperti dirimu. Tetaplah tegar, karena sejatinya para murid yang kau cintai telah melihat dan merasakan ketulusanmu. Di mata mereka, engkau adalah pahlawan yang sebenarnya.
Penulis : Ramdan Buhang
Posting Komentar untuk "Kisah Ayu Ngadi, Guru Bantu yang Diusir Oknum Kepsek di Bintauna"