Akbar dan Kesedihan di Pos Retribusi Batu Pinagut

 


Di sebuah sudut indah kawasan wisata Pantai Batu Pinagut, Kecamatan, Kaidipang Bolaang Mongondow Utara, ada kisah yang mungkin luput dari perhatian banyak orang. Di balik senyum ramah para penjaga pos retribusi, tersimpan cerita getir tentang perjuangan, tanggung jawab, dan ketidakadilan.

Prana Akbar Kuka, salah satu penjaga pos retribusi, adalah seorang ayah muda. Anak pertamanya baru berusia 50 hari, dan istrinya yang sedang menyusui bergantung penuh pada penghasilannya. Seperti dua rekannya yang lain, Akbar bekerja tanpa henti, tanpa hari libur, bahkan tanpa insentif lembur. Namun, yang paling menyakitkan adalah gaji bulan Desember 2024 yang seharusnya menjadi hak mereka, hingga kini belum juga dibayarkan.

Bukan karena mereka tidak berusaha menuntut hak mereka. Akbar telah mengadu kepada bendahara, tetapi jawaban yang diterima sungguh menyayat hati. Anggaran gaji dikatakan sudah habis, dan sisa dana yang tersedia hanya Rp300 ribu, jauh dari cukup untuk membayar total gaji yang seharusnya untuk ketiga penjaga. Akbar hanya bisa menelan pil pahit sambil terus menjalankan tugasnya.

Yang lebih memprihatinkan adalah fakta bahwa di lingkungan dinas pariwisata, Tunjangan Tambahan Penghasilan (TTP) bagi para pejabat justru berjalan lancar. Seolah-olah sistem ini lebih mengutamakan kenyamanan para pengambil kebijakan dibandingkan hak dasar tenaga kerja harian seperti Akbar. Bukankah seharusnya gaji dan kesejahteraan pekerja menjadi prioritas? Bagaimana mungkin tenaga yang menjadi tulang punggung operasional kawasan wisata justru menjadi pihak yang dilupakan?

Bagi Akbar, gaji itu bukan sekadar angka. Itu adalah makanan untuk bayi mungilnya, obat untuk istrinya, dan biaya hidup keluarganya. Ketika ketidakadilan seperti ini terjadi, siapa yang bisa menyalahkan jika rasa kecewa dan putus asa mulai menyelimuti? Sistem yang seharusnya melindungi pekerja seperti Akbar justru membuat mereka terpinggirkan.

Cerita ini bukan hanya tentang satu orang atau satu keluarga―Ini adalah cerminan dari wajah ketidakadilan yang masih sering terjadi. Para pekerja kecil seperti Akbar sering kali menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Di saat mereka bekerja keras menjaga kelancaran kawasan wisata, hak-hak dasar mereka justru diabaikan.

Apakah ini harga yang harus dibayar oleh mereka yang hanya ingin hidup layak? Di mana hati nurani para pengambil keputusan yang membiarkan situasi ini terus terjadi? Akbar dan rekan-rekannya adalah manusia yang memiliki keluarga, impian, dan kebutuhan. Mereka bukan sekadar angka dalam laporan anggaran.

Namun, Kepala Dinas Pariwisata Bolmut, Moh. Noh Djarumia, memberikan keterangan lain. Ia mengakui adanya kesalahan administrasi dalam sistem pembayaran, termasuk pembayaran ganda yang menyebabkan selisih anggaran. Hal inilah yang disebutnya menjadi penyebab gaji ketiga THL tersebut belum terbayarkan.

“Saya memahami apa yang menjadi kesulitan mereka. Sedikitpun tidak ada niat untuk menahan gaji mereka. Kami akan berusaha mencari solusi agar hak mereka segera terbayarkan,” kata Noh Djarumia.

Pebulis: Ramdan Buhang


Posting Komentar untuk "Akbar dan Kesedihan di Pos Retribusi Batu Pinagut"