Baru-baru ini, saya menerima kiriman tautan berita dari seorang teman. Tautan itu bersumber dari salah satu media lokal di BMR. Judul beritanya cukup provokatif: Plt Kadis Kominfo Bolmut Dicap Rusak Mental Bawahan: Penerapan Disiplin Tebang Pilih.
Membaca judulnya saja, saya sudah bisa menebak ke mana arah berita ini akan dibawa. Dan benar saja, setelah membacanya, saya justru tertawa terbahak-bahak hingga terpingkal-pingkal. Bukan karena isinya menarik, tetapi karena betapa Konyol keluhan yang disampaikan di dalamnya.
Singkatnya begini, Plt. Kadis Kominfo dan Persandian Bolmut Mirwan Datukramat, S.Kom memberikan teguran tertulis kepada ASN yang dianggap tidak disiplin dalam mengikuti apel pagi. Namun, bukannya menerima teguran tersebut sebagai bagian dari pembinaan, mereka justru memilih untuk mengadu ke salah satu wartawan untuk membangun narasi seolah-olah mereka adalah korban dari kebijakan yang “tidak adil.”
Mereka merasa bahwa teguran tersebut tebang pilih, seolah-olah lebih mementingkan absensi ketimbang kerja keras. Mereka mengeluh bahwa meskipun mereka sudah bekerja dan bahkan lembur, mereka tetap mendapat teguran hanya karena tidak hadir dalam apel pagi.
Nah, mari kita telaah sebentar.
Pertama, yang namanya aturan, ya harus ditegakkan. Apel pagi bukan sekadar rutinitas seremonial yang bisa diabaikan sesuka hati. Ini adalah bagian dari disiplin ASN yang sudah diatur dalam regulasi. Jika setiap ASN bisa datang seenaknya, lalu untuk apa ada aturan? Jika merasa bekerja keras adalah alasan untuk tidak mengikuti apel, maka semua ASN pun bisa berdalih hal yang sama.
Kedua, ada yang menarik dari pola pikir oknum ASN ini. Mereka seolah-olah merasa bahwa disiplin adalah hal yang bisa dinegosiasikan. Seakan-akan mereka boleh melanggar aturan selama mereka mengklaim sudah bekerja. Padahal, regulasi mengenai tunjangan tambahan penghasilan (TPP) sudah jelas, 60 persen dihitung dari kinerja dan 40 persen dari kedisiplinan, termasuk absensi apel pagi. Jadi, kalau mau menerima hak secara penuh, ya jalankan dulu kewajibannya!
Ketiga, cara mereka menyampaikan keluhan ini sangat mencerminkan mentalitas pegawai yang tidak siap untuk dikoreksi. Bukannya introspeksi, malah sibuk mencari pembenaran ke media. Seakan-akan mereka ingin membangun opini publik bahwa mereka adalah korban ketidakadilan, padahal mereka sendiri yang melanggar aturan. Ini bukan soal penegakan disiplin yang tebang pilih, ini soal ketidakmampuan menerima konsekuensi dari kelalaian sendiri.
Lebih konyol lagi, mereka menuduh Plt Kadis telah “merusak mental bawahan.” Sebuah tuduhan yang lucu, mengingat yang sebenarnya terjadi adalah pemimpin menegakkan aturan dan bawahan yang enggan mengikutinya. Jadi sebenarnya siapa yang merusak mental siapa? Kadis yang berusaha menjalankan tugasnya dengan benar, atau ASN yang tidak bisa menerima konsekuensi dari kelalaian sendiri?
Sebagai seorang wartawan, saya tidak asing dengan keluhan semacam ini. Ada banyak orang yang datang meminta dibuatkan berita untuk membela diri dari teguran yang mereka terima. Mereka ingin membentuk opini publik agar seolah-olah mereka adalah korban, padahal yang mereka inginkan hanyalah mencari pembenaran. Tetapi jika oknum ASN seperti ini datang kepada saya, saya memilih untuk tidak menulisnya. Saya tidak ingin berkompromi dengan ketidakbecusan. Saya tidak ingin menjadi bagian dari drama murahan yang hanya bertujuan untuk melindungi mentalitas pegawai yang tidak mau berubah.
Jika kita ingin birokrasi yang lebih baik, maka kita butuh ASN yang memahami bahwa disiplin adalah bagian dari profesionalisme. Kalau merasa aturan itu terlalu berat, kalau merasa apel pagi itu terlalu sulit, mungkin menjadi ASN bukanlah pilihan yang tepat. Sebab, menjadi abdi negara bukan hanya soal menerima gaji dan tunjangan, tetapi juga tentang tanggung jawab dan kedisiplinan. Jika kedisiplinan dasar saja sudah dianggap penindasan, maka jangan heran jika ke depan kita semakin sering melihat ASN yang sibuk mencari celah untuk menghindari aturan daripada benar-benar bekerja. (*)
Posting Komentar untuk "Drama Konyol Oknum ASN Cengeng dan Keluhan di Meja Redaksi"