![]() |
Oleh: Ramdan Buhang
Politik adalah cermin dari masyarakatnya. Di dalamnya, ada jejak sejarah, kepentingan, dan tentu saja, dinamika sosial yang terus bergerak. Dalam tulisan Ersad Mamonto yang menggugah kesadaran akan politik geo-etnisitas di Bolmut, terdapat keresahan yang layak kita renungkan: Apakah kita masih ingin terjebak dalam politik identitas yang membelah, ataukah saatnya kita menatap Bolmut sebagai satu entitas yang harus bergerak maju bersama?
Ersad dengan jelas memaparkan bagaimana politik di Bolmut telah lama berkutat pada tarik-menarik antara eks-swapraja, Bintauna dan Kaidipang Besar, yang kemudian terfragmentasi menjadi Bintauna, Bolangitang, dan Kaidipang. Ia menyoroti bagaimana pola distribusi kekuasaan, baik dalam jabatan birokrasi maupun alokasi anggaran daerah, sering kali lebih condong ke basis asal kepala daerah yang berkuasa. Ini bukan hanya fenomena politik elektoral, tetapi juga menjadi cerminan dari cara kita memahami kepemimpinan dan kekuasaan di daerah ini.
Namun, saya ingin mengajukan satu pertanyaan: Apakah politik geo-etnisitas di Bolmut adalah masalah, atau justru realitas yang harus kita kelola dengan cara yang lebih adil?
Sejarah daerah ini memang tidak bisa dilepaskan dari dinamika eks-swapraja. Dari zaman sebelum pemekaran hingga kini, politik di Bolmut masih sangat dipengaruhi oleh identitas kultural yang melekat dalam masyarakat. Ini bukan semata-mata soal perebutan kekuasaan, tetapi juga bagaimana masing-masing wilayah merasa memiliki hak untuk mendapatkan porsi yang seimbang dalam pemerintahan.
Dalam konteks demokrasi lokal, keterwakilan berbasis wilayah dan etnisitas bukanlah sesuatu yang harus dihindari sepenuhnya. Di banyak daerah di Indonesia, realitas seperti ini tetap terjadi dan menjadi bagian dari politik elektoral. Namun, persoalannya adalah apakah keterwakilan ini membawa pemerataan pembangunan, atau justru memperdalam jurang kesenjangan antarwilayah?
Jika politik geo-etnisitas hanya dijadikan alat untuk mempertahankan status quo dan mengamankan suara dalam pemilu, maka kita memang sedang berjalan mundur. Namun, jika keterwakilan ini dimanfaatkan untuk menciptakan pemerintahan yang inklusif, yang benar-benar mengakomodasi kebutuhan seluruh wilayah tanpa diskriminasi, maka politik identitas tidak selalu menjadi hal yang buruk.
Dua Jalan bagi Kepemimpinan SJL
Ersad menyoroti bahwa SJL memiliki dua pilihan, bertahan dalam pola lama yang berbasis geo-etnisitas atau membangun sistem baru berbasis meritokrasi. Ini adalah tantangan besar bagi seorang pemimpin. Saya percaya, di tengah tantangan ini, ada jalan tengah yang bisa ditempuh, memadukan keterwakilan dengan meritokrasi. Artinya, pemerintah harus tetap peka terhadap aspirasi masyarakat di tiap wilayah, tetapi tetap memastikan bahwa distribusi kekuasaan dan kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh asal-usul geografis, melainkan oleh kapasitas dan kompetensi.
Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan pemerataan pembangunan di semua kecamatan, membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan, serta mendorong transparansi dalam distribusi jabatan birokrasi. Lebih dari itu, identitas Bolmut sebagai satu kesatuan harus diperkuat melalui kebijakan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi yang tidak lagi mengedepankan dikotomi wilayah, tetapi lebih pada kebersamaan membangun daerah.
Salah satu hal penting yang juga disoroti oleh Ersad adalah perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bolmut yang belum berjalan sesuai harapan. Seharusnya, RTRW menjadi acuan dalam pengembangan sektor-sektor strategis, namun kenyataannya, implementasi kebijakan ini masih jauh dari optimal.
Sangkub yang dirancang sebagai sentra pertanian tidak mendapatkan prioritas yang jelas dalam kebijakan daerah, Bintauna yang seharusnya menjadi pusat pengembangan pendidikan tinggi masih tertinggal, dan Pinogaluman dengan potensi pelabuhannya nyaris tidak mendapat perhatian serius. Hal ini menunjukkan bahwa visi pembangunan berbasis RTRW belum benar-benar diwujudkan, dan perencanaan wilayah masih sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Jika RTRW benar-benar diterapkan sebagai pedoman utama pembangunan, maka tidak akan ada lagi wilayah yang merasa terpinggirkan hanya karena bukan basis pemilih kepala daerah yang berkuasa. Pemerintahan SJL harus mampu menegaskan komitmennya untuk menata pembangunan dengan basis data dan kebutuhan riil masyarakat, bukan hanya berdasarkan lobi politik atau kepentingan elektoral jangka pendek.
Tulisan Ersad adalah sebuah tamparan bagi kita semua. Ia mengingatkan bahwa kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa persoalan ini tidak ada. Namun, lebih dari itu, tulisan ini harus menjadi pemantik bagi kita untuk berpikir lebih luas Bagaimana kita ingin Bolmut di masa depan?
Bolmut yang maju bukanlah Bolmut yang dikelola berdasarkan tarik-menarik kekuasaan geo-etnisitas yang kaku. Ia harus menjadi daerah yang mampu merangkul semua potensi, di mana kebijakan yang dibuat benar-benar berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan hanya karena siapa yang sedang berkuasa. Jika kita masih terus berpikir dalam batas-batas lama, maka kita hanya akan mengulang sejarah dengan wajah yang berbeda.
Saatnya kita mulai melihat Bolmut sebagai satu kesatuan. Bukan Bolmut Barat, bukan Bolmut Timur. Tapi Bolmut yang utuh, untuk semua. (*)
Posting Komentar untuk "Menyoal Politik Identitas di Bolmut: Tanggapan atas Keresahan Ersad Mamonto"