Astaga, DPMD Ingin Jebloskan Kades Se-Bolmut ke Balik Jeruji Besi


Penulis: Ramdan Buhang

Baru saja saya menyalakan laptop untuk berselancar di dunia maya, tiba-tiba suara notifikasi WhatsApp masuk ke HP Samsung saya. Pesan itu datang dari salah satu sahabat, lengkap dengan tautan berita dari media lokal miliknya. Dengan rasa penasaran, saya klik tautan itu. Tampak foto Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Kawasan Desa, Arham Pontoh, terpampang besar. Raut wajahnya tampak serius, tanpa senyum. Namun, yang membuat saya lebih tercengang adalah judul beritanya: “Arham Pontoh: Pemdes Wajib Tambah Modal BUMDes.”

Sejenak, saya terdiam. Coba mencerna isi berita, saya malah merasakan ironi yang menyesakkan. Masih segar diingatan saya, hasil audit tahun 2023 membeberkan fakta, dana BUMDes sebesar Rp24 Miliar mengendap tanpa kejelasan, rasanya itu sudah menjadi pukulan yang cukup keras untuk kita semua. Namun, ternyata tidak. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Bolmut tampaknya merasa pukulan itu kurang dramatis, sehingga mereka menambahkan babak baru dalam drama ini: memaksa kepala desa untuk kembali menyuntikkan modal ke BUMDes dengan sistem yang sama, dan tentu saja, dengan risiko yang sama.

Kita hidup di zaman di mana logika terkadang kalah oleh ambisi kebijakan. Bukankah begitu? Di atas kertas, semuanya terlihat hebat. Keputusan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2025 dijadikan tameng, seolah-olah aturan ini adalah tiket menuju surga pembangunan desa. Padahal, jika kita menyingkap lebih dalam, tiket ini tak lebih dari jalan pintas menuju jurang masalah baru. DPMD tahu betul bahwa mayoritas BUMDes di Bolmut tidak memiliki catatan keuangan yang bisa dibanggakan. Mereka tahu dana sebelumnya mengendap tanpa manfaat yang nyata. Namun, entah dengan niat apa, mereka tetap mendorong kebijakan ini, seolah-olah mengulangi kesalahan adalah cara terbaik untuk memperbaiki keadaan.

Kepala desa, pada akhirnya, hanyalah bidak dalam permainan besar ini. Mereka berada di posisi yang mustahil. Menolak alokasi dana berarti melawan aturan pusat, sebuah tindakan yang tidak hanya berisiko, tetapi juga akan membawa mereka ke dalam konflik langsung dengan DPMD. Namun, jika mereka mematuhi kebijakan ini, risiko yang mereka tanggung jauh lebih besar. Ketika dana kembali tidak dapat dipertanggungjawabkan, kepala desa akan menjadi orang pertama yang dipanggil untuk menjelaskan. Dan ketika penjelasan itu tidak memuaskan, mereka akan menjadi orang pertama yang diantar menuju jeruji besi. DPMD? Mereka cukup mengangkat tangan dan berkata, “Kami hanya menjalankan kebijakan pusat.”

“Penyertaan Modal Ke BUMdes itu wajib,” kata Kabid Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Kawasan Desa, Arham Pontoh, dengan percaya diri. Ah, sungguh pilihan kata yang mencerminkan empati mendalam terhadap nasib kepala desa yang kini berada di ujung tanduk. Sebuah pernyataan yang, jika kita mau jujur, lebih terdengar seperti perintah untuk masuk ke dalam lubang yang menganga.

Bagi kepala desa, situasi ini adalah jebakan hidup-mati. Menolak kebijakan berarti melawan aturan pusat, sebuah tindakan yang akan dipandang sebagai ketidakpatuhan. Tapi mengikuti kebijakan sama saja dengan menggali lubang sendiri. Ketika dana kembali tidak dapat dipertanggungjawabkan, siapa yang pertama kali diminta menjelaskan? apakah pejabat DPMD?. Ketika jaksa datang mengetuk pintu, siapa yang akan berdiri di depan?. Di sisi lain, DPMD berdiri di atas panggung, menyampaikan pidato-pidato tentang keberhasilan program ketahanan pangan yang “dirancang dengan baik,” sambil dengan hati-hati menjauhkan diri dari risiko hukum.

Pertanyaan yang paling menggantung adalah: apa yang sebenarnya ada di benak DPMD Bolmut? Apakah mereka benar-benar percaya bahwa menggelontorkan lebih banyak dana ke BUMDes yang bermasalah adalah solusi? Atau ini hanyalah cara mereka mencuci tangan dari masalah lama dengan membuat masalah baru?

Jika jawabannya adalah yang kedua, maka mereka layak diberi penghargaan atas strategi brilian ini. Tidak ada cara yang lebih efisien untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan masa lalu selain menciptakan krisis baru yang lebih besar.

Tapi ini bukan sekadar drama. Ini adalah kenyataan yang akan menghantui kepala desa di Bolmut. Mereka akan menghadapi audit, pertanyaan, dan mungkin bahkan dakwaan hukum, semuanya karena kebijakan yang tidak pernah mereka rancang, tetapi harus mereka laksanakan. Dan di balik semua ini, DPMD akan terus bertahan di zona aman mereka, terlindungi oleh dalih bahwa mereka hanya mengikuti keputusan pusat.

Kepala desa di Bolmut, bersiaplah. Jika kebijakan ini terus berjalan, Anda mungkin perlu mulai mencari pengacara, karena jeruji besi kini tampak lebih dekat dari sebelumnya. Dan DPMD? Mereka akan tetap berdiri di sana, menonton dari jauh, mengangguk puas, dan menganggap tugas mereka selesai.

Jika ini adalah bentuk pemberdayaan desa, maka kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya diberdayakan? Atau lebih tepatnya, siapa yang benar-benar dihabisi?***

Posting Komentar untuk "Astaga, DPMD Ingin Jebloskan Kades Se-Bolmut ke Balik Jeruji Besi"