Penggusuran Gazebo di Pantai Batu Pinagut, Antara Kemajuan dan Konflik


Oleh: Ramdan Buhang

Ada yang bilang, perubahan itu menyakitkan. Tapi, apa boleh buat, kalau perubahan itu demi kebaikan bersama, ya harus ditelan, meski pahit. Begitulah kira-kira cerita dari kawasan wisata Pantai Batu Pinagut di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.

Pantai Batu Pinagut bukan sekadar hamparan pasir putih dan deretan batu besar. Di balik keindahan itu, ada cerita panjang tentang pembangunan, perubahan, dan—tentu saja—polemik yang mengiringinya. Bagaimana tidak? Dalam upaya menjadikan kawasan ini sebagai destinasi wisata unggulan, ada banyak keputusan dan tindakan yang memicu reaksi, baik positif maupun negatif.

Segalanya dimulai pada tahun 2015, ketika pemerintah kabupaten di bawah kepemimpinan Depri Pontoh dan Suriansyah Korompot mulai merencanakan pembangunan kawasan pantai batu Pinagut. Pemda membebaskan lahan dan membangun infrastruktur dari kawasan pantai Desa Kuala Utara hingga kawasan pantai Desa Boroko Utara. Jalan sepanjang 1,1 kilometer dibuka dan diperkeras, melintasi tiga desa utama: Kuala Utara, Boroko Timur, dan Boroko Utara. Dua tahun kemudian, pada 2017, proyek dilanjutkan dengan pengaspalan yang melibatkan PT. Anugerah Dinasti Sakti dengan anggaran mencapai 7 miliar rupiah. Pada tahun yang sama, Suwanto Goma, seorang arsitek lokal, merancang model tiga dimensi untuk pengembangan kawasan Batu Pinagut. Semua ini menjadi pondasi bagi visi besar menjadikan Batu Pinagut sebagai destinasi wisata unggulan.

Namun, di balik ambisi besar ini, muncul dinamika di tingkat lokal. Pemerintah Desa Boroko Timur, dengan niat mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat, membangun 5 gazebo pada 2017 dengan anggaran 225 juta rupiah. Tahun berikutnya, mereka menambah 5 unit gazebo dengan biaya yang sama. Total 10 gazebo ini menjadi aset desa dengan nilai aset sebesar 450 juta rupiah, dikelola oleh BUMDes Bolugo, dan digunakan oleh para pelaku UMKM untuk usaha kuliner. Kehadiran gazebo-gazebo ini memicu geliat ekonomi lokal, terutama di Boroko Timur.

Tetapi, seperti kata pepatah, "Tidak ada keberhasilan tanpa tantangan." Pemerintah daerah melalui Kepala Bagian Umum Setda Bolmut, Yusup Ibrahim, mengirimkan surat teguran kepada Pemerintah Desa Boroko Timur. Dalam surat tersebut, Yusup meminta agar pembangunan gazebo dihentikan mengingat lahan tersebut sudah direncanakan untuk pengembangan kawasan wisata yang telah masuk dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah. Namun, pemerintah desa memilih untuk terus melanjutkan pembangunan. Kepala Desa Boroko Timur, Robby Pakaya, menolak untuk membongkar gazebo yang telah dibangun sebelumnya. Alasannya sederhana: demi masyarakat sekaligus untuk mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa.

Ketegangan antara Yusup Ibrahim dan Robby Pakaya tidak terhindarkan. Yusup bersikeras bahwa pembangunan gazebo tanpa izin di lahan milik pemerintah daerah adalah tindakan melanggar aturan dan dapat memicu konsekuensi hukum di kemudian hari. Namun, Robby berdalih bahwa pembangunan itu adalah bagian dari hak desa untuk memanfaatkan dana desa demi kepentingan masyarakat. Sayangnya, masalah ini tidak pernah tuntas karena ditahun 2017 juga, Yusup meninggal dunia akibat penyakit yang mendadak menyerangnya.

hingga, Pada tahun 2024, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui BWSS I Sulawesi Utara menggelontorkan dana sebesar 17 miliar rupiah untuk proyek Tahap satu pengamanan pantai Batu Pinagut. Proyek ini bertujuan menata kawasan wisata agar lebih menarik dan berkelanjutan. 

Kini, pada tahun 2025, proyek besar tahap kedua di Pantai Batu Pinagut siap digeber. Anggarannya? Tidak main-main, 30 hingga 40 miliar rupiah dari Kementerian PUPR. Tapi syarat mutlaknya: seluruh area proyek harus bebas dari gazebo sebelum 30 Februari 2025. Nah, di sinilah drama dimulai.

Gazebo-gazebo itu bukan cuma bangunan biasa. Mereka adalah aset resmi desa, dibangun dengan uang rakyat, dan tercatat sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Membongkarnya tanpa prosedur jelas bisa jadi urusan panjang—bukan cuma administratif, tapi juga berdampak hukum, salah melangkah Kepala Desa Masuk Bui. Tapi kalau dibiarkan, proyek besar ini bisa terhambat. Serba salah, bukan?

Di sisi lain, pemerintah daerah juga menghadapi dilema. Relokasi gazebo membutuhkan lahan baru yang belum dimiliki oleh pemerintah desa. Sementara itu, pemberian ganti rugi dapat menjadi langkah yang berisiko jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Jika tidak cermat, semua pihak yang terlibat berpotensi terseret ke dalam masalah yang lebih besar.

Pada akhirnya, Pantai Batu Pinagut adalah gambaran nyata dari kompleksitas pembangunan di daerah. Perubahan memang sering kali menyakitkan, tetapi dengan kerja sama dan dukungan seluruh masayarakat Bolmut, Pantai Batu Pinagut bisa menjadi kebanggaan kita semua. Bukankah itu yang kita inginkan?

Posting Komentar untuk "Penggusuran Gazebo di Pantai Batu Pinagut, Antara Kemajuan dan Konflik"