Tumpukan Uang, Itikad, dan Catatan di Gedung Dewan

News, Opini & Analisis5895 Dilihat

Oleh : Ramdan Buhang, SP (Pemimpin Redaksi Binadow.com)

Saya menyaksikan langsung, uang tunai tersusun rapi  di atas meja Kejaksaan Negeri Bolaang Mongondow Utara. Jumlahnya bukan recehan: Rp1,1 miliar. Bukan uang hasil rampokan, bukan pula temuan dalam koper di bandara. Itu uang dari tiga pimpinan DPRD Bolmong Utara—yang dikembalikan secara sadar, sebagai bentuk tanggung jawab atas kekeliruan dalam penerimaan tunjangan.

Senin, (30/6/2025), Kejari Bolmong Utara mencatat peristiwa ini sebagai bagian penting dalam upaya pemulihan kerugian negara. Kepala Kejari, Oktafian Syah Effendi, S.H., M.H., menerima langsung pengembalian itu, didampingi Kepala Seksi Pidsus Muhammad Taufik Wahab, S.H., dan Plt. Kasi Intelijen, Feicy Filisia Ansow, S.H.

“Ini bagian dari proses hukum yang berorientasi pada pemulihan. Kami hargai itikad baik para pimpinan DPRD yang telah memilih mengembalikan dana tersebut secara penuh,” ujar Oktafian kepada media ini.

Kesadaran dan Koreksi

Pengembalian dana ini bukan hasil tekanan atau paksaan. Berkas penyelidikan menyebutkan bahwa ketiga pimpinan DPRD secara sukarela merespons temuan Kejari terkait belanja rumah tangga yang diterima dalam periode 2020–2024, meski pemerintah belum menyediakan rumah dinas. Dalam aturan keuangan negara, belanja rumah tangga hanya diberikan bila rumah dinas digunakan.

Namun karena rumah dinas tidak tersedia, pimpinan DPRD saat itu telah diberikan tunjangan perumahan. Belanja rumah tangga—yang semestinya tidak lagi melekat—tetap digunakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam proses audit keuangan pihak Inspektorat maupun Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

Alih-alih menunggu proses hukum berlarut, tiga pimpinan DPRD itu mengambil langkah cepat: mengembalikan dana tersebut ke kas negara secara utuh.

“Ini sikap yang patut dihargai. Kami tidak menutup mata terhadap kekeliruan yang terjadi, tapi kami juga menghormati langkah tanggung jawab yang diambil secara sadar,” kata Taufik Wahab.

Baca Juga  DPRD Bolmut Kembalikan Dana Tunjangan Tak Sah ke Kas Negara

Pengembalian dilakukan melalui Kejari Bolmong Utara dan langsung disetorkan ke rekening Kas Negara lewat Bank BRI. Proses dilakukan terbuka dan terdokumentasi.

Bukan Skandal, tapi Koreksi Sistem

Peristiwa ini bukan semata perkara hukum, melainkan juga potret dari kekosongan sistem yang belum sepenuhnya tertata di daerah. Ketika fasilitas rumah dinas tak disediakan, pemerintah daerah memilih memberikan tunjangan sebagai pengganti. Namun anggaran lama—termasuk belanja rumah tangga—belum sepenuhnya dihapus dari pola penganggaran.

“Kasus ini menjadi pembelajaran bersama. Bukan hanya bagi pimpinan DPRD, tetapi juga bagi pemerintah daerah dan penyusun APBD. Sistem harus dibenahi agar tidak terjadi pengulangan,” ujar Feicy Ansow.

Di sisi lain, langkah pengembalian dana ini juga membuka ruang diskusi lebih luas: bagaimana pendekatan penegakan hukum bisa berpijak pada semangat koreksi, bukan hanya vonis.

Kejaksaan pun mengacu pada petunjuk teknis Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi di tahap penyelidikan. Dalam dokumen resmi bernomor B-765/F/Fd.1/04/2018, disebutkan bahwa pengembalian kerugian negara secara penuh dapat menjadi pertimbangan untuk penyelesaian non-litigasi, sepanjang tidak ada unsur lain yang mengarah pada niat memperkaya diri secara sengaja.

Transparan, tapi Tetap Berimbang

Sejauh ini, Kejari Bolmong Utara belum menyebut adanya tersangka. Penyidikan masih berjalan. Namun pengembalian uang dari tiga pimpinan DPRD ini telah memperlihatkan arah penyelesaian yang lebih konstruktif — keuangan negara kembali, dan sistem tata kelola diperbaiki.

Publik mungkin bertanya-tanya, apakah semua akan berakhir di sini? Tapi media ini menilai, langkah para pimpinan DPRD tersebut adalah bagian dari solusi, bukan masalah baru.

Jika semua pejabat publik mampu bersikap terbuka dan bertanggung jawab atas setiap rupiah yang diterima, maka kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali—bukan dengan slogan, tapi dengan tindakan.

Baca Juga  DPRD Bolmut Kembalikan Dana Tunjangan Tak Sah ke Kas Negara

Celaka Jika Sistem Diam dan Etika Dibungkam

Yang terjadi di Bolmong Utara bukan cerita baru. Dalam banyak daerah lain, tunjangan rumah dinas tetap dibayarkan meski rumah dinas tak tersedia. Lebih dari itu, banyak pos anggaran di APBD yang berjalan rutin tanpa pernah benar-benar dievaluasi relevansinya.

Jika kejaksaan tak turun tangan, bisa jadi ini akan terus menjadi praktik biasa. Yang dianggap legal karena selalu ada di dokumen, meski bertentangan dengan akal sehat dan logika peraturan.

Dan celakanya, di sinilah ruang abu-abu itu bermain. Ketika sistem diam, dan semua hanya berpedoman pada rutinitas, maka yang rusak bukan hanya administrasi, tapi juga nilai-nilai.

Kita seharusnya bersyukur bahwa dalam kasus ini, tiga pimpinan dewan memilih diam-diam membereskan. Tapi jangan lupa, jika tidak dibarengi pembenahan sistem, kejadian serupa bisa terulang lagi.

Hari ini mungkin mereka mengembalikan karena tekanan penyelidikan. Tapi bagaimana dengan anggaran tahun depan? Bagaimana dengan pos-pos lain yang tak pernah dikaji secara kritis?

Pengembalian Bukan Akhir?

Sebagian orang mengira pengembalian uang ke negara berarti kasus selesai. Tidak salah. Tapi juga tidak sepenuhnya tepat. Karena hukum tidak hanya bicara soal ganti rugi, tapi juga soal peringatan dan pembelajaran.

Di sisi lain, tidak adil pula jika kita memojokkan mereka yang telah mengembalikan. Mereka tidak lari, tidak menyangkal, tidak pula mengkambinghitamkan bawahan. Itu sudah langkah besar di tengah budaya politik yang sering defensif.

Karena itu, saya percaya, kebenaran tidak selalu datang lewat palu sidang. Ada kalanya kebenaran datang lewat kesadaran pribadi, lewat keputusan yang diam-diam menyelamatkan. Dan justru dari situlah reformasi anggaran daerah bisa dimulai.

Waktunya Evaluasi Total

Baca Juga  DPRD Bolmut Kembalikan Dana Tunjangan Tak Sah ke Kas Negara

Kini bola ada di tangan pemerintah daerah dan DPRD berikutnya. Apakah sistem penganggaran akan tetap seperti ini? Apakah evaluasi atas pos tunjangan dilakukan sungguh-sungguh? Apakah sistem keuangan disusun berdasarkan kebutuhan riil, atau hanya salinan dari tahun sebelumnya?

Karena jika tidak ada evaluasi struktural, maka kita hanya akan berputar di lingkaran pengulangan. Dan pengembalian hari ini akan tampak seperti peristiwa heroik, padahal seharusnya tidak perlu terjadi jika sistemnya benar sejak awal.

Sebagai warga, kita tidak butuh simbol-simbol penyelamatan moral. Kita butuh kejelasan. Kita butuh APBD yang rasional. Kita butuh birokrasi yang tidak hanya mengatur pengeluaran, tapi juga mengontrol diri.

Pengembalian uang oleh tiga pimpinan DPRD itu adalah awal yang baik. Tapi ke depan, yang lebih penting adalah mencegah agar uang negara tidak salah arah sejak dari perencanaan.

Kita butuh lebih banyak pemimpin yang tak menunggu dipanggil untuk bertanggung jawab. Yang tidak menunggu kasus meledak sebelum bersikap.

Sebab membangun daerah ini bukan hanya soal proyek dan angka-angka. Tapi soal menjaga kepercayaan rakyat—yang kadang tidak bisa dibayar dengan tumpukan uang sebanyak apa pun.

Komentar