Penulis: Ramdan Buhang, SP
(Pemimpin Redaksi binadow.com)
Sore itu, selasa (9/9/2025), aula Kantor Bapelitbang Bolaang Mongondow Utara berubah menjadi panggung yang penuh khidmat. Barisan kursi berjajar rapi, tamu undangan mengenakan pakaian resmi, sementara di depan podium dengan lambang daerah berdiri kokoh. Lampu-lampu aula menyinari ruangan, menciptakan suasana hangat namun sarat ketegangan.
Di tengah ruangan itu, Nul Hakim bersama empat belas orang lainnya berdiri tegap. Jas hitamnya tersemat pin Korpri, wajahnya menampilkan ketenangan meski dari suaranya terdengar getar halus. Sore itu bukan sekadar seremoni baginya. Setelah puluhan tahun mengabdi, ia akhirnya dipercaya memegang jabatan strategis: Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
Saat mengucapkan sumpah jabatan, suaranya terdengar tegas: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala BPKPD dengan sebaik-baiknya, dengan penuh rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara…” Ruangan hening, semua mata tertuju padanya. Beberapa pejabat tampak menahan haru, sebab mereka tahu betapa panjang jalan yang ditempuh pria berdarah Kaidipang yang tumbuh besar di Kota Palu ini hingga mencapai titik itu.
Bupati Bolmut, Dr. Sirajudin Lasena, SE., M.Ec.Dev., yang memimpin langsung prosesi pelantikan, menyampaikan pesan singkat namun sarat makna. “Saudara-saudara sekalian, jabatan ini bukan hadiah. Ini adalah amanah yang lahir dari rekam jejak panjang pengabdian. Saya percaya, dengan pengalaman dan integritas yang Saudara miliki, OPD yang dipimpin akan semakin kuat dalam mendukung pembangunan daerah,” ujarnya, disambut tepuk tangan para hadirin.
Momen penandatanganan berita acara menjadi puncak seremoni. Pena bergerak di atas kertas, tanda tangannya kokoh, menandai babak baru dalam karier birokrasi yang telah ia bangun bertahun-tahun. Setelah itu, tepuk tangan bergemuruh. Sebagian tamu undangan berdiri memberi penghormatan, menandai rasa hormat atas perjalanan panjang seorang pria yang kini menempati salah satu posisi kunci di Bolmut.
Namun, bagi Nul Hakim, pelantikan itu lebih dari sekadar pencapaian pribadi. Ia menyadari sepenuhnya, kursi yang baru saja ia duduki adalah amanah besar—sebuah tanggung jawab untuk memastikan setiap rupiah uang rakyat dikelola dengan benar, adil, dan transparan. “Saya hanya ingin bekerja jujur, memastikan anggaran daerah benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat Bolmut,” ucapnya lirih kepada seorang kolega usai prosesi.
Akar di Kota Palu
Jauh sebelum namanya disebut-sebut di ruang-ruang birokrasi Bolmut, kisah Nul Hakim bermula di Kota Palu. Kota yang tumbuh di tepi teluk dengan udara panas yang khas, angin laut yang sesekali bertiup membawa aroma asin, dan kehidupan masyarakat yang akrab dengan kesederhanaan. Di sanalah ia menapaki masa kecil dengan apa adanya.
Namun jejak hidupnya tak hanya ditulis Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dari ayahnya yang berasal dari tanah Kaidipang, Bolaang Mongondow Utara, mengalir darah dan ikatan batin dengan kampung leluhur. Ikatan itu kelak menjadi jembatan yang mempertemukan Nul Hakim dengan tanah pengabdian yang kini dipimpinnya. Sejak dini, ia belajar arti ketekunan dari bangku sekolah dasar, menyerap nilai disiplin dari lingkungan Palu, sekaligus menyimpan kebanggaan akan akar Kaidipang yang tak pernah putus.
Hari-harinya di SD Negeri 27 Palu penuh kesederhanaan. Seragam putih-merah yang mulai memudar, tas kain berisi buku tipis, serta perjalanan pulang-pergi sekolah di bawah terik matahari siang menjadi potret masa kecilnya. Tanggal 30 Mei 1992, ia resmi menuntaskan pendidikan dasar, dengan ijazah bernomor 24 OA oa 0001448 di tangan. Bagi keluarganya, kelulusan itu lebih dari sekadar tanda tamat belajar—ia adalah harapan bahwa anak mereka bisa melangkah lebih jauh dari sekadar batas kota kecil Palu.
Masa remajanya dilalui di SMP Negeri 4 Palu, tempat ia belajar lebih banyak tentang disiplin dan tanggung jawab. Sementara banyak teman sebaya larut dalam permainan, ia lebih sering terlihat tekun mencatat pelajaran. Catatan tangannya rapi, tulisannya kecil namun penuh ketelitian, seakan ia sudah tahu sejak dini bahwa setiap detail akan menentukan masa depan. Pada 9 Juni 1995, ia menutup masa SMP dengan ijazah bernomor 24 OA oa 0204828.
Langkah berikutnya membawanya ke SMK Negeri 2 Palu, jurusan Administrasi. Pilihan ini bukan kebetulan. Sejak awal ia sudah tertarik pada dunia tata kelola dan aturan. Di ruang kelas kejuruan itu, ia mulai menyadari bahwa administrasi bukan hanya urusan kertas dan stempel, melainkan dasar bagi sebuah sistem pemerintahan berjalan. Pada 18 Mei 1998, ia lulus dengan ijazah bernomor 24 Mk 259 107653. Gelar itu menjadi bekal pertamanya untuk meniti jalan birokrasi.
Palu tidak hanya memberinya pendidikan, tetapi juga membentuk karakternya. Dari kota itu ia belajar tentang keterbatasan, tentang kesabaran menunggu kesempatan, dan tentang pentingnya kerja keras. Ia sering mengenang masa-masa itu dengan nada haru:
“Saya dibesarkan dalam keterbatasan. Tapi justru dari situ saya belajar bersabar. Di Palu saya belajar, kalau kita tekun, pelan-pelan jalan pasti terbuka,” ujarnya suatu ketika.
Bagi Nul Hakim, akar di Palu adalah fondasi. Dari ruang kelas kecil dengan papan tulis yang kusam, dari halaman sekolah berdebu, ia menanam mimpi yang kelak membawanya keluar dari kota kecil itu, menuju panggung yang lebih besar: birokrasi.
Menempa Ilmu, Membentuk Pikiran
Selepas menamatkan SMK pada 1998, langkah Nul Hakim tidak berhenti. Ia tahu, pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk mengubah nasib. Tahun itu ia memutuskan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, dan pilihannya jatuh pada Universitas Tadulako, Palu. Jurusan Antropologi menjadi rumah barunya.
Antropologi bukan bidang populer kala itu, tapi bagi Nul Hakim, pilihan ini sangat berarti. Ia tertarik pada cara ilmu ini mengajarkan memahami manusia dan kebudayaan, melihat realitas sosial dengan kacamata yang lebih jernih. Selama bertahun-tahun ia menekuni dunia teori dan penelitian, hingga pada 27 Februari 2003 ia resmi menyandang gelar sarjana, dengan ijazah bernomor 12202/41.02.S1/2003.
Skripsi yang ia tulis mencerminkan kepekaan sosial yang mendalam: “Adaptasi Budaya Masyarakat Adat Terpencil di Pemukiman Baru (Studi Kasus Komunitas Topo Da’a Desa Ongulero, Kecamatan Marawola, Kabupaten Donggala).” Dari judul itu terlihat jelas kecenderungannya: menaruh perhatian pada kelompok marjinal, mereka yang sering terpinggirkan dalam narasi pembangunan.
“Saya selalu percaya, masyarakat kecil justru punya daya juang yang luar biasa. Kita hanya perlu mendengar mereka,” kenangnya suatu ketika.
Namun, dahaga ilmunya tidak berhenti di Palu. Ia merantau ke Jakarta, melanjutkan studi ke jenjang magister di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kali ini ia memilih bidang yang lebih dekat dengan jalur pengabdiannya kelak: Administrasi Publik.
Tanggal 10 September 2005, dengan ijazah bernomor 000880, ia resmi menyandang gelar Magister Administrasi Publik (M.Si). Tesisnya berjudul “Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Desa secara Bottom-Up di Kecamatan Dolo, Kabupaten Donggala.” Lewat karya itu, ia menegaskan pandangannya bahwa pembangunan tidak bisa hanya digerakkan dari atas ke bawah, melainkan harus memberi ruang bagi suara desa, suara rakyat.
Ilmu yang ia tempuh bukan hanya soal gelar. Kombinasi antara Antropologi dan Administrasi Publik membentuk kerangka pikir yang unik: memahami manusia dan budaya sekaligus menata kebijakan publik. Bekal ini kelak membuatnya tidak sekadar menjadi pejabat, melainkan birokrat yang mampu membaca denyut sosial masyarakat, lalu menerjemahkannya dalam kebijakan yang lebih manusiawi.
Ia pernah berujar dalam sebuah forum kecil: “Ilmu itu ibarat kompas. Tanpa kompas, kita bisa saja berjalan, tapi mudah tersesat. Dengan ilmu, setiap langkah birokrasi punya arah yang jelas: untuk manusia, untuk masyarakat.”
Meniti Tangga Birokrasi
Karier birokrasi Nul Hakim dimulai resmi pada awal 2010, ketika ia menerima SK nomor 813/BKDD/BMU/SK/288/I/2010, tertanggal 4 Januari 2010. Dengan keputusan itu, ia diangkat sebagai Penata Muda, golongan III/a, terhitung mulai 1 Januari 2010. Sebuah pijakan pertama di tangga panjang birokrasi, yang kelak akan ia lalui dengan sabar.
Setahun kemudian, 29 Maret 2011, SK nomor 821.04/BKDD/BMU/SK/III/89 memperbarui jabatannya sebagai Penata Muda III/a, dengan masa kerja 1 tahun 3 bulan, efektif sejak 1 April 2011. Dokumen ini menegaskan langkahnya yang terus menapak, selangkah demi selangkah.
Pada 2 April 2012, ia naik menjadi Penata Muda Tingkat I, golongan III/b, melalui SK nomor 823/BKDD/BMU/SK/195/IV/2012, berlaku sejak 1 April 2012 dengan masa kerja 2 tahun 3 bulan. Nomor registrasi BKN LG-27107000295 mencatat kenaikan pangkatnya secara resmi.
Kenaikan berikutnya terjadi pada 17 Oktober 2013, ketika ia diangkat sebagai Penata, golongan III/c, melalui SK nomor 823/BKDD/BMU/SK/654a/X/2013. Masa kerjanya tercatat 3 tahun 9 bulan, dengan nomor BKN LG-27107000035 sebagai pengukuh.
25 Oktober 2016, ia naik menjadi Penata Tingkat I, golongan III/d, lewat SK nomor 823/BKDD/BMU/SK/603/X/2016, berlaku sejak 1 Oktober 2016, dengan masa kerja 6 tahun 9 bulan.
Langkahnya menembus golongan IV pada 31 Agustus 2020, ketika ia ditetapkan sebagai Pembina, golongan IV/a, melalui SK nomor 823/BKD/SK/14/2020, berlaku sejak 1 Oktober 2020, dengan masa kerja 10 tahun 9 bulan, tercatat di BKN LG-27107000018.
Puncaknya terjadi pada 28 Februari 2024, saat ia resmi menyandang Pembina Tingkat I, golongan IV/b, lewat SK nomor 823/BKD/SK/72/2024, berlaku sejak 9 September 2024, menandai perjalanan panjang 14 tahun 9 bulan masa pengabdian. Nomor BKN LG-27107000015 kini melekat pada catatan kariernya.
Setiap SK yang diterimanya bukan sekadar deretan angka atau golongan. Di balik selembar kertas itu ada kerja keras, disiplin, dan kesabaran panjang. “Setiap kenaikan pangkat bagi saya bukan sekadar jabatan baru. Itu seperti meniti anak tangga. Kita tidak bisa melompat, tapi harus sabar menapaki satu per satu. Yang penting kita tidak berhenti naik,” ujarnya.
Tangga birokrasi itu ia jalani tanpa keluhan, tanpa mencari jalan pintas. Setiap pijakan yang ia tapaki menjadi bukti konsistensi: bahwa karier bisa dibangun dengan kesetiaan pada aturan dan ketekunan kerja.
Mengabdi Lewat Jabatan
Bagi Nul Hakim, birokrasi bukan sekadar pangkat atau jabatan, tetapi wadah untuk memberi makna nyata pada pengabdian. Setiap posisi yang ia duduki menjadi ruang kerja keras dan dedikasi.
Langkah awalnya tercatat pada 28 Agustus 2012, ketika ia diangkat sebagai Kepala Sub Bidang Sosial Budaya di BAPPEDA melalui SK nomor 821.24/BKDD/BMU/537a/VIII/2012, efektif sejak 23 Agustus 2012. Jabatan ini mungkin terlihat administratif, namun baginya adalah kesempatan memahami dinamika sosial budaya daerah. “Jangan pernah meremehkan tugas yang tampak kecil. Dari situlah kita ditempa untuk pekerjaan besar,” ujarnya suatu ketika.
Kepercayaan kian bertambah. Pada 3 Maret 2014, melalui SK nomor 821.24/BKDD/BMU/121/II/2014, ia dilantik sebagai Kepala Seksi Bidang Penyusunan Perencanaan Program Anggaran di Dinas Sosial. Tugasnya kini lebih teknis dan menuntut ketelitian dalam menyusun program anggaran yang berdampak langsung pada masyarakat.
Tahun 2015 menjadi fase penting. Dengan SK nomor 821.24/BKDD/BMU/1333/VI/2015, ia diangkat sebagai Kepala Bidang Program dan Perencanaan di Dinas Sosial, efektif sejak 25 Juni 2015. Dari sini, Nul Hakim belajar menyelaraskan perencanaan program dengan kebutuhan riil warga, menjadikan angka-angka bukan sekadar catatan, tapi instrumen perubahan.
Pada 3 Januari 2017, melalui SK nomor 821.24/BKDD/BMU/130/XII/2016, ia dipercaya sebagai Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial di Dinas Sosial. Jabatan ini menempatkannya langsung pada layanan publik yang menyentuh kesejahteraan masyarakat paling rentan. Ia dikenal tegas, namun tetap membuka ruang dialog dengan staf dan warga.
Kepercayaan kembali mengalir pada 19 Agustus 2019, ketika ia diangkat sebagai Kepala Bidang Perencanaan Sosial dan Ekonomi di BAPELITBANG melalui SK nomor 821.24/BKPP/BMU/SK/47.a/VIII/2019. Posisi ini memperluas perspektifnya, menggabungkan perencanaan sosial dengan strategi pembangunan ekonomi daerah.
Pada 29 Desember 2020, lewat SK nomor 821.24./BKPP/BMU/SK/117/XII/2020, ia menapaki jabatan Sekretaris Dinas Sosial. Di sini, ia memimpin administrasi dan koordinasi program sosial, memastikan setiap program dijalankan tepat sasaran.
Puncaknya sebelum memegang posisi tertinggi, pada 27 Mei 2024, ia dipercayakan sebagai Plt. Kepala Dinas Sosial melalui SK nomor 800/BKPSDM/BMU/27/2024, efektif mulai 1 Juni 2024. Posisi ini menjadi gerbang terakhir yang memperkokoh pengabdiannya pada masyarakat luas.
Setiap jabatan yang pernah ia emban selalu ia pandang bukan sebagai simbol kekuasaan, melainkan medan pengabdian.
“Bagi saya, jabatan adalah amanah. Ia datang dan pergi, tapi jejak kerja yang kita tinggalkan akan terus bicara,” ucapnya.
Belajar Tak Pernah Usai
Di balik kesibukan kerja dan tanggung jawab jabatan, Nul Hakim menyadari satu hal: belajar tak boleh berhenti. Ia selalu percaya bahwa birokrat yang baik bukan hanya duduk di kursi jabatan, melainkan terus menajamkan kemampuan.
Catatan keikutsertaannya dalam pendidikan dan pelatihan adalah bukti nyata semangat itu. Pada 7 Juli 2010, ia menuntaskan Diklat Prajabatan Golongan III, dengan sertifikat nomor 85.485/I.18.DIKLAT PRAJ III/LAN/2010. Bagi Nul Hakim, diklat ini bukan sekadar formalitas ASN baru, melainkan pengalaman awal memahami esensi disiplin birokrasi.
“Dari sini saya belajar, pengabdian itu butuh disiplin, tanpa itu semua hanya jadi rutinitas kosong,” kenangnya.
Peningkatan kapasitasnya berlanjut dengan Diklat PIM Tk IV pada 2 Mei 2013 (nomor 7024/DIKLATPIM TK.IV/71/7108/LAN/2013), dan Diklat PIM Tk III pada Juli 2017 (nomor 00000923/DIKLATPIM TK.III/71/7108/LAN/2017). Diklat-diklat ini membekalinya kemampuan kepemimpinan dan pengambilan keputusan strategis di birokrasi.
Selain diklat formal, Nul Hakim juga menekuni pelatihan teknis. Pada Juni 2013, ia mengikuti Kursus Sistem Informasi Geografi (GIS) Tingkat Dasar Angkatan IV di Manado (sertifikat 004/GIS DASAR/GBN-IV-0036), yang meningkatkan pemahamannya tentang pemetaan dan pengelolaan data spasial. Tak lama kemudian, pada Mei 2013, ia mengikuti Bimbingan Teknis dan Ujian Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Makassar (sertifikat 2227/PL10/PL/2013), memperkuat kompetensinya dalam prosedur pengadaan sesuai Perpres 54/2010 dan 70/2012.
Kemudian, pada Juli 2013, Nul Hakim menempuh Desiminasi Bahasa Indonesia di Manado (sertifikat 1030/14.5.14/BS/2013), yang membantunya menguasai komunikasi resmi dan penulisan dokumen pemerintah. Serangkaian pelatihan ini juga termasuk Pelatihan Penganggaran Berbasis Value for Money di Yogyakarta pada November 2011, yang menekankan pentingnya kinerja dan efisiensi dalam pengelolaan anggaran.
“Birokrasi yang modern butuh orang-orang yang mau belajar terus, karena aturan selalu berubah, tantangan juga berganti,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.
Bagi Nul Hakim, setiap pelatihan adalah investasi bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang ia yakini harus terus diperbaiki.
Penghargaan dan Pengakuan
Perjalanan panjang Nul Hakim sebagai abdi negara tak hanya diwarnai jabatan dan tugas berat. Negara pun memberi tanda penghargaan sebagai bentuk pengakuan atas pengabdiannya. Pada tahun 2020, ia menerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya X Tahun dari Presiden Republik Indonesia.
Satyalancana ini bukan sekadar medali yang disematkan di dada. Ia adalah simbol kesetiaan, pengabdian, dan dedikasi ASN yang telah bekerja dengan penuh tanggung jawab selama sedikitnya sepuluh tahun tanpa cela. Setiap tetes keringat, setiap jam kerja panjang, hingga setiap keputusan sulit yang pernah ia ambil, dirangkum dalam tanda kehormatan itu.
“Penghargaan ini bukan untuk saya pribadi. Ini adalah pengingat, bahwa kerja kita harus jujur, tulus, dan konsisten. Karena negara melihat, dan masyarakat merasakan,” ucapnya lirih pada satu kesempatan, kalimat yang menegaskan kesederhanaannya.
Bagi sebagian orang, penghargaan mungkin hanya simbol seremonial. Tapi bagi Nul Hakim, Satyalancana adalah penegasan moral. Ia merasa terpanggil untuk terus menjaga integritas, memastikan setiap langkah birokrasi yang ia pimpin memberi manfaat nyata.
Pengakuan itu juga menjadi sumber semangat baru, sebuah energi yang mendorongnya melangkah lebih jauh dalam perjalanan birokrasi. Karena ia tahu, pengabdian tidak berhenti pada sepuluh tahun. Masih ada bab-bab berikutnya yang harus ditulis dengan tinta ketekunan dan dedikasi.
Keluarga: Sumber Kekuatan
Di balik sosok birokrat yang tegas dan disiplin, ada sisi pribadi yang menjadi penopang seluruh langkahnya yakni keluarga. Bagi Nul Hakim, rumah bukan hanya tempat beristirahat, melainkan sumber kekuatan yang meneguhkan setiap pengabdian.
Ia membangun rumah tangga bersama Deviyanti, SE, perempuan kelahiran Palu, 28 Desember 1980. Dari pernikahan itu lahirlah dua putri: Ghina Salsabila (lahir 27 Agustus 2004) dan Nabila Ayu Fabrianti (lahir 28 Februari 2007). Kehadiran mereka melengkapi perjalanan hidupnya, menjadi cahaya yang selalu mengiringi langkah di tengah kerasnya dunia birokrasi.
Dalam setiap langkah karier, dukungan istrinya menjadi fondasi yang tak tergantikan. Deviyanti bukan sekadar pendamping, tetapi mitra yang setia memberi semangat ketika beban kerja menumpuk.
“Di balik setiap keputusan besar yang saya ambil, selalu ada doa dan dukungan istri saya. Dialah yang menjaga agar saya tetap berpijak pada kesederhanaan,” ujar Nul Hakim suatu ketika.
Sementara itu, kedua putrinya menjadi pengingat paling manis dalam hidupnya. Wajah mereka selalu muncul di benak ketika ia merasa lelah atau menghadapi ujian berat di kantor. Di ruang keluarga, tawa Ghina dan Nabila menghadirkan energi baru, menutup penat yang tak jarang menguras tenaga.
Deviyanti pun memahami bahwa tugas seorang birokrat sering kali menuntut pengorbanan waktu. Namun ia memilih untuk setia mendampingi, mengisi ruang kosong dengan kesabaran.
“Saya tahu, pekerjaannya sering menyita waktu. Tapi saya percaya, semua itu ia lakukan demi pengabdian. Dan bagi saya, selama ia jujur dan tulus, itu sudah cukup membuat saya bangga,” tuturnya dalam sebuah percakapan keluarga.
Keluarga bukan sekadar latar belakang dalam biografi Nul Hakim, tetapi fondasi yang menopang seluruh bangunan kariernya. Setiap capaian akademik, setiap jabatan, hingga penghargaan negara yang pernah ia terima—semuanya bermuara pada satu tujuan: menghadirkan kebanggaan bagi keluarga kecilnya.
Puncak Pengabdian: Kepala BPKPD Bolmut
Hakim adalah putra berdarah Bolmut yang dibesarkan di Kota Palu. Dari tanah leluhur Kaidipang mengalir identitasnya, sementara Kota Palu menempanya dengan kesederhanaan dan ketekunan. Dua ruang hidup itu menyatu, membentuk pribadi yang tahan uji.
Dan tibalah saat itu: Selasa sore, 9 September 2025. Di hadapan para tamu undangan, Bupati Bolmut Dr. Sirajudin Lasena melantiknya bersama lima belas pejabat pratama lainnya. Nama Nul Hakim, S.Sos., M.Si., disebut sebagai Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah.
BPKPD bukan sekadar institusi. Ia adalah jantung tata kelola daerah. Menjadi nakhoda di sana berarti menjaga denyut integritas keuangan, memastikan anggaran berpihak pada rakyat, serta mengoptimalkan pendapatan demi pembangunan.
Hakim sadar, jabatan ini bukan puncak kejayaan pribadi. Ia tetaplah sosok yang sederhana, suami bagi Deviyanti, ayah bagi Ghina dan Nabila. Kesadaran itu yang membuatnya menundukkan kepala ketika sumpah diucapkan—sebuah pengingat bahwa jabatan adalah amanah, bukan anugerah yang datang tanpa alasan.
Kini, di Bolmut, ia berdiri bukan semata pejabat, melainkan teladan. Bahwa birokrasi bisa ditempuh dengan kejujuran. Bahwa kerja keras menemukan jalannya. Dan bahwa pengabdian, bila dijalani tulus, akan sampai pada titik di mana masyarakat dan sejarah memberi tempat terhormat.
Penulis: Ramdan Buhang

Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.







Komentar