Pemangkasan Transfer Daerah Dinilai Ancam Ekonomi Lokal dan Otonomi Daerah

Kab. Bolmut, News7952 Dilihat

BOROKO, BINADOW.COM – Rencana pemerintah pusat memangkas transfer ke daerah (TKD) hingga Rp269 triliun atau sekitar 24,7 persen pada APBN 2026 menuai kritik keras dari kalangan daerah. Kebijakan itu dinilai bukan hanya mempersempit ruang fiskal pemerintah kabupaten dan kota, tapi juga berpotensi menekan roda ekonomi lokal hingga memicu gejolak sosial.

Mantan Ketua Presidium Pemekaran Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Boltara), Moh. Irianto Christoffel Buhang, menilai langkah pemerintah pusat itu mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar daerah masih bergantung pada dana transfer.

“Kalau pemotongan TKD diberlakukan, itu berat bagi daerah. Tidak semua kabupaten dan kota punya pendapatan asli daerah yang baik. Lebih dari 60 persen daerah masih bergantung pada transfer pusat,” ujarnya kepada media ini, Kamis (18/9/2025).

Menurut Christoffel, pemangkasan sebesar itu tidak bisa dianggap remeh. Dengan keterbatasan PAD, pemerintah kabupaten akan kesulitan mendanai program padat karya, pembangunan infrastruktur dasar, hingga layanan publik.

“Kalau infrastruktur terhambat, otomatis tukang, penjual pasir, penjual batu, buruh harian ikut terdampak. Ini bukan sekadar angka di APBN, ini menyangkut perut masyarakat,” katanya.

Ia mencontohkan kondisi Bolaang Mongondow Utara. Mengacu pada proyeksi APBD 2025 yang hanya sekitar Rp600 miliar, jika dipotong 27,4 persen maka anggaran tersisa tinggal Rp435,6 miliar. Dari jumlah itu, belanja pegawai yang mencapai Rp300 miliar sudah pasti terserap penuh.

“Artinya belanja publik yang bisa dipakai untuk infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan pertanian tinggal Rp135,6 miliar saja. Dengan angka segitu, apa yang bisa kita harapkan? Krisis pelayanan publik hampir pasti terjadi, ekonomi lokal bisa stagnan, bahkan konflik sosial berpotensi muncul,” katanya.

Di Bolaang Mongondow Utara, sekitar 86–87 persen masyarakat hidupnya bertumpu pada APBD. Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan menjadi tulang punggung utama ekonomi lokal, dengan kontribusi lebih dari 44 persen terhadap PAD.

Baca Juga  Boltara Nol Kasus Gizi Buruk, UPTD TFC Fokus Pencegahan

“Prioritas anggaran daerah harusnya fokus pada pertanian, perkebunan, perikanan, dan kelautan. Tapi dengan adanya pemotongan transfer, APBD bisa goyang,” ucapnya.

Lebih jauh, ia menyoroti perubahan skema dana transfer dari pusat yang kini makin kaku. Dana alokasi umum (DAU) yang dulu fleksibel, kini disebut mulai “bermerek” seperti dana alokasi khusus (DAK). Konsekuensinya, pemerintah daerah makin kehilangan ruang untuk berinovasi dalam memilih sektor strategis.

“Kecil lagi jumlahnya, ini bahaya. Kalau semuanya sudah dipatok dari pusat, lalu di mana ruang otonomi yang dijanjikan?” kata Christoffel.

Kritik ini disebutnya sejalan dengan semangat otonomi daerah yang sejak reformasi 1999 diperjuangkan, namun kini makin tergerus.

“Hari ini kewenangan daerah makin berkurang. Bahkan urusan kecil seperti galian C harus ke provinsi. Bagaimana masyarakat kecil bisa mengurus itu? Otonomi tinggal slogan,” tegasnya.

Irianto menambahkan, pemangkasan transfer justru bisa menimbulkan paradoks. Di satu sisi pemerintah pusat gencar mendorong pembangunan dari desa, tapi di sisi lain memangkas sumber keuangan utama daerah.

“Kalau daerah dipaksa mandiri tanpa instrumen yang cukup, itu bukan kemandirian, itu pembiaran,” ucapnya.

Sebagai solusi, ia mengusulkan agar pemerintah meninjau kembali kebijakan tax holiday yang banyak dinikmati perusahaan besar di sektor smelter dan hilirisasi.

“Kenapa tax holiday untuk smelter dan hilirisasi tidak dicabut saja? Negara hanya mendapat 10 sampai 15 persen dari situ. Itu lebih berbahaya dibanding mengurangi transfer ke daerah,” ujar mantan wakil ketua DPRD Boltara itu.

Penulis: Ramdan Buhang

Komentar