Budi Pekerti sebagai Napas Pendidikan di Bumi Boltim

Oleh: Rits Rumewo (Kepala Biro Binadow.com Boltim)

Di balik angka-angka di rapor dan tumpukan silabus pelajaran, ada satu hal yang tak tertulis tapi sejatinya menjadi roh dari seluruh proses pendidikan: budi pekerti. Ia tak tampak dalam grafik kelulusan, tak masuk dalam indikator akreditasi, tapi keberadaannya terasa nyata dalam sikap anak-anak yang tahu caranya menyapa, menghargai, dan bertanggung jawab. Di tanah Bolaang Mongondow Timur—daerah yang diwarisi budaya luhur dan relijiusitas yang kuat—budi pekerti semestinya bukan sekadar pengingat masa lalu, melainkan fondasi bagi masa depan.

Namun zaman tak berjalan mundur. Arus informasi mengalir tanpa saring, membawa serta gelombang nilai-nilai baru yang kerap berbenturan dengan akar budaya kita. Media sosial—yang mestinya menjadi sarana ekspresi—terkadang justru merampas ruang-ruang kontemplasi dan sopan santun. Anak-anak kita tumbuh dalam kebisingan digital yang cepat dan dangkal, sementara nilai-nilai keteladanan perlahan terdesak ke pinggir.

Di sinilah pentingnya sekolah hadir bukan hanya sebagai tempat mentransfer ilmu, tetapi sebagai taman tempat tumbuhnya karakter. Guru tidak cukup hanya jadi penyampai materi, ia harus menjadi sosok yang hidup dalam nilai-nilai yang diajarkannya. Dalam setiap tatap muka, dalam tiap teguran lembut atau pujian tulus, karakter siswa dibentuk—sedikit demi sedikit, hari demi hari.

Boltim punya peluang besar. Kita punya kearifan lokal yang kaya, bahasa Mongondow yang sarat filosofi, dan nilai-nilai komunitas yang tak lekang waktu. Pemerintah daerah, lewat Dinas Pendidikan, perlu menaruh perhatian lebih dalam menjadikan budi pekerti sebagai nadi pendidikan. Kurikulum berbasis budaya lokal bukan sekadar pelajaran tambahan, tapi bisa menjadi identitas sekaligus penjaga nilai di tengah terpaan globalisasi.

Gerakan “Sekolah Berbasis Karakter” bisa menjadi jawaban. Tapi ia tak akan berjalan hanya dengan dokumen program dan spanduk di pagar sekolah. Ia butuh gerakan kolektif—dari ruang guru hingga ruang makan keluarga. Orang tua, tokoh adat, pemuka agama, dan para pemimpin desa perlu duduk bersama, menyemai kembali semangat mendidik anak dengan hati, bukan sekadar angka.

Baca Juga  Bersama Camat, Pemdes Se-Kecamatan Nuangan Benahi Jalan Matabulu–Jiko Belanga

Karena pada akhirnya, pendidikan tak hanya tentang mencetak sarjana, tapi melahirkan manusia seutuhnya. Manusia yang jujur, peduli, bertanggung jawab, dan tahu caranya hidup sebagai bagian dari masyarakat. Itulah generasi Boltim yang kita dambakan—yang tak hanya cerdas pikirannya, tapi juga luhur akhlaknya.

Komentar