Oleh: Ramdan Buhang
Malam itu, lampu pelita bersinar redup di rumah panggung milik I.T. Patadjenu. Sembilan lelaki duduk bersila, wajah-wajah mereka letih tapi berani. Di tengah mereka, Kapten (Purn) Is. Rahman berdiri, suaranya lantang, menusuk malam Kaidipang yang sunyi. “Kita jangan takut! Kita harus bergerak! Cukup sudah kesabaran kita disisihkan oleh segelintir elite Mongondow dan kroni-kroninya!” ujar Kapten (Purn) Polisi Is. Rahman, disambut anggukan tegas dari sembilan tokoh masyarakat yang duduk bersila mengelilinginya.
Tahun 1995, tiga kecamatan di pesisir utara—Kaidipang, Bolangitang, dan Bintauna—tenggelam dalam keterbelakangan. Jalanan berlubang, jembatan darurat dari batang kelapa, irigasi mati suri, kantor pemerintahan nyaris tak layak. Alokasi anggaran dari APBD Bolmong mengalir seret, kendali penuh berada di tangan elit Mongondow yang tak segan menyisihkan wilayah utara dari peta pembangunan.
Lebih pahit lagi, warga utara kerap gagal menjadi pegawai negeri sipil hanya karena urat keturunan tak bersambung ke etnis dominan.
Di tengah rasa tersingkir itu, bara perlawanan mulai menyala. Pertemuan demi pertemuan digelar diam-diam—kadang di rumah Haruji Datuela, kadang pula di teras rumah R.P. Harunja. Nama-nama seperti Ismet Lasena, Salim Totodu, Ibrahim Goma, hingga Alison Patadjenu dan Yan Lasena muncul sebagai penggerak awal gerakan yang kelak dikenang sebagai cikal bakal lahirnya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara yang kala itu digagas dengan nama Binadow.
Begitulah awalnya. Bukan di hotel mewah, bukan dalam forum resmi. Pemekaran Bolaang Mongondow Utara dimulai dari tikar lusuh, dengan kopi hitam dan bara semangat yang tak bisa dibeli siapa pun. Mereka tak punya anggaran, tak ada SK, tak di-backup kekuasaan. Yang mereka miliki hanya satu: tekad.
Tekad itu menular ke rakyat kecil. Ibu-ibu menjual dua liter cabai rawit terakhir demi menyumbang perjuangan. Tukang kuli menyisihkan upah harian demi mendanai pengiriman surat ke Jakarta. Anak-anak sekolah ikut mengumpulkan botol bekas—bukan buat jajan, tapi buat ongkos rapat pemekaran.
Dua dekade berlalu, Bolmut kini berdiri gagah di peta republik. Kantor megah berdiri, para pejabat berdasi, dan ASN menikmati tunjangan daerah otonom. Namun ironinya, ketika muncul inisiatif memberi tali asih bagi keluarga para pejuang pemekaran, sebagian dari mereka justru keberatan menyumbang Rp60 ribu. Ya, enam puluh ribu. Tak lebih mahal dari harga parfum lokal yang biasa disemprot sebelum apel pagi.
Lantas kita bertanya: apakah ingatan kolektif kita sudah sedingin pendingin ruangan di ruang rapat dinas? Apakah kita begitu cepat lupa siapa yang menyalakan api pertama?
Saya tahu, tak semua ASN bersikap begitu. Tapi cukup banyak yang menolak berdonasi—cukup nyaring untuk terdengar, cukup menyakitkan untuk dikenang. Mereka protes, merasa tak wajib. Padahal ini bukan perintah. Ini solidaritas. Ini empati. Ini urusan hati.
Inisiatif sederhana dari Kepala Kesbangpol Ramin Buhang, Plt. Asisten III Abdul Moto Dg. Mulisa, Kabag Umum Remon Patadjenu, dan Kadis Sosial Akim Tahir bukan proyek formal. Mereka hanya ingin memberi tali asih kepada ahli waris para pejuang yang kini tinggal nama. Bukan dalam bentuk mewah, bukan panggung besar. Hanya amplop kecil—tanda bahwa sejarah tak dilupakan.
Sayangnya, respons sebagian ASN justru membelalakkan mata. Protes, keberatan, bahkan menyindir balik. Mungkin mereka lupa, mereka digaji dari daerah yang diperjuangkan dengan air mata. Atau mungkin mereka memang tak tahu—karena sejarah itu tak pernah sampai ke meja mereka, tersesat di antara tumpukan disposisi dan jadwal rapat.
Lalu apa makna HUT Bolmut jika kita hanya jago meriahkan festival dan konser, tapi gagal menghidupkan ingatan? Apa gunanya panggung megah jika tak sanggup berdiri di atasnya dengan rasa hormat?
Kita hidup di tanah yang dulu dibasahi peluh pejuang. Kita bekerja di kantor yang dulu hanya impian. Kita disapa “Pak” atau “Bu” oleh warga yang dulu rela berdesakan mengangkut petisi pemekaran. Tapi kita tak rela mengeluarkan Rp60 ribu dari dompet yang tebal?
Ini bukan soal uang. Ini soal hati. Soal bagaimana kita bersikap terhadap sejarah yang melahirkan kita.
Saya berharap, bagi Anda yang keberatan berdonasi, tulisan ini mengetuk hati terdalam. Semoga Anda bisa menatap wajah-wajah tua para janda pejuang itu tanpa merasa malu. Dan jika pun tak malu, setidaknya jangan pernah berkata Anda bangga menjadi bagian dari Bolmut.
Karena menjadi bagian dari Bolmut bukan sekadar jabatan. Itu adalah warisan perjuangan.
Ada yang bilang, Rp60 ribu itu kecil. “Cuma segitu,” kata salah satu ASN sambil tertawa kecil, mungkin saat menyeruput kopi di ruangan ber-AC, dengan meja yang tiap pagi dilap oleh tenaga honorer. Ya, “cuma segitu”—uang yang mungkin tak cukup untuk membeli pulsa, tapi terlalu besar disebut harga sebuah ingatan.
Ironis. Di negeri kecil bernama Bolmut, harga kenangan kini bisa dinego.
Saya teringat seorang ibu tua dari Bolangitang, yang saya temui di sebuah acara syukuran beberapa tahun lalu. Ia bercerita, suaminya sering pulang dari rapat pemekaran dengan pakaian basah dan mata merah. Tak ada ojek, apalagi mobil dinas. Tapi selalu ada senyum: “Sedikit lagi, kita bakal punya kabupaten sendiri.”
Sekarang, kabupaten itu ada. Tapi senyumnya tak ada. Ia meninggal. Nama suaminya tak pernah masuk dalam deretan pejabat Bolmut. Hanya hidup dalam ingatan istrinya, dan sesekali disebut dalam undangan ziarah yang kadang salah eja oleh mereka yang hanya tahu menikmati.
Ketika anak-anaknya tahu soal rencana tali asih, mereka terharu. Bukan karena jumlahnya—bukan itu poinnya—tapi karena merasa diingat. Namun haru itu segera runtuh saat mendengar sebagian ASN menolak berdonasi. Alasannya? Tak wajib. Tak dianggarkan. Tak ada SK.
Hebat. Kita sudah merdeka dari Mongondow, tapi belum merdeka dari mental birokrasi. Kini, empati pun perlu petunjuk teknis.
Kalau dulu pejuang menunggu SK sebelum bergerak, barangkali Bolmut masih jadi daftar tunggu pemekaran. Tapi mereka tidak tanya kapan rapat. Mereka bergerak karena tahu: ketertinggalan ini tak akan berubah kalau tidak diperjuangkan.
Bandingkan dengan hari ini: pejabat datang hanya saat apel. Pulang lebih cepat, perjalanan dinas lebih lama dari jam kerja. Tapi saat diminta menyumbang, malah sibuk debat soal prosedur. Ada yang bilang, “Nanti disangka pungli.” Padahal pungli bukan soal besar atau kecil, tapi niat.
Kalau niatnya tulus, Rp60 ribu jadi pelita kecil di rumah tua para pejuang. Tapi kalau niatnya mandul, seribu pun takkan mengalir.
Mungkin ASN kita lupa cara bersyukur, terlalu nyaman dalam ruangan ber-AC sambil mengeluh soal WiFi.
Dulu, tanpa kantor, tanpa listrik, para pejuang gelar rapat dalam gelap. Syamsudin Olii, teknisi PLN, menyambung kabel sembunyi-sembunyi demi nyalakan satu lampu. Sekarang? Satu sentuhan menyalakan komputer, tapi nurani bisa dimatikan begitu mudah.
Hasana Nova Sumitro—Mama Cakra—menjual satu-satunya guci warisan keluarga dari zaman Jepang. “Guci ini bukan buat saya hidup mewah, tapi biar anak cucu saya hidup bermartabat,” katanya. Hari ini, cucunya sekolah di kabupaten sendiri. Tapi ASN-nya masih menawar harga penghormatan.
Yang paling ironis: sebagian penolak donasi justru paling antusias ikut ziarah. Tabur bunga, baju rapi, selfie di makam pejuang. Caption-nya: “Menghargai sejarah, mengenang jasa para pendahulu.”
Astaga. Kita hidup di zaman ketika sejarah jadi latar Instagram, bukan pelajaran hidup.
Bio Penulis:
Ramdan Buhang adalah Pemimpin Redaksi Binadow.com. Ia dikenal lewat tulisan bernas yang menyentil, berakar pada realitas sosial, dan kerap mengangkat suara yang luput dari sorotan arus utama. Fokus utamanya isu politik lokal, sejarah daerah, dan dinamika sosial di Bolaang Mongondow Raya. Saat ini, ia tengah menyusun buku berjudul Dibalik Layar Redaksi: Catatan Perjalanan dan Dinamika Jurnalisme Lokal, sembari terus menulis untuk menghidupkan ingatan kolektif lewat cerita yang tak selalu nyaman dibaca.

Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar