Oleh: Ramdan Buhang
Dalam banyak sejarah politik lokal, kritik sering dianggap ancaman. Banyak pemimpin merasa dirinya tak boleh disentuh. Mereka menutup telinga, marah ketika dikritik. Suara rakyat akhirnya harus diteriakkan lewat megapon, diiringi arak-arakan kendaraan, dan sering dibalas aparat berjaga di jalanan. Kritik yang seharusnya menjadi vitamin, justru diperlakukan sebagai racun.
Di banyak tempat, adegan itu berulang. Warga terpaksa berbondong-bondong turun ke jalan hanya untuk menyampaikan aspirasi. Sementara pemimpin duduk di kursinya yang dingin, menutup rapat pintu ruang kerja. Kritik pun kerap diberi stempel negatif: pengganggu stabilitas, perusak citra, bahkan musuh pemerintah. Wajah arogan kepemimpinan tumbuh dari rasa takut terhadap suara rakyat.
Tak perlu jauh-jauh mencari contoh, di Bolaang Mongondow Utara masih ada pejabat yang sibuk dengan gaya hidup mentereng, tapi kikir membuka pintu bagi warganya. Pagar rumah lebih terawat daripada jalur komunikasi dengan masyarakat. Telepon berdering hingga berpuluh-puluh tak pernah diangkat, pesan singkat hanya dibaca tanpa balasan. Warga seperti berbicara dengan tembok yang kaku.
Lebih miris lagi, sikap itu kerap dibungkus seolah wibawa. Padahal yang tampak hanyalah pejabat yang bersembunyi di balik nomor telepon yang tak pernah aktif. Bayangkan bila mental seperti ini kelak menduduki kursi sekretaris daerah atau bahkan kepala daerah. Rakyat yang ingin menyampaikan keluhan atau aspirasi harus menyiapkan kesabaran panjang—atau sekurang-kurangnya, belajar berbicara dengan pagar rumah dinas.
Berbeda dengan Dr. Sirajudin Lasena, Bupati Bolmut. Ia tak pernah menolak kritik, apalagi membalas dengan amarah. Alih-alih bersembunyi di balik tembok birokrasi, Sirajudin membuka pintu rumah dinasnya di Kompleks Labuan, Boroko. Undangan itu ditujukan langsung kepada Irawan Rahman, penulis surat terbuka yang mengkritik pemerintah daerah dan DPRD.
Pertemuan itu berlangsung sederhana, jauh dari kesan seremonial. Sirajudin dan Irawan berdiskusi panjang: dari pembangunan daerah, tanggung jawab pemimpin, hingga dinamika demokrasi. Obrolan itu tak berakhir pada perdebatan kusir, melainkan menemukan titik temu—bahwa kritik bukan penghalang, melainkan bahan bakar memperbaiki arah.
Irawan bahkan menyerahkan secarik kertas berisi 12 poin rekomendasi untuk Pemda Bolmut. Momentum itu menunjukkan, kritik bisa melahirkan solusi bila ruangnya dibuka. Sirajudin membuktikan dirinya bukan tipe pemimpin yang alergi pada suara berbeda.
Dalam sikap itu, ia sedang mengirim pesan penting: menyampaikan kritik tak harus lewat megapon dan barisan demonstran. Kritik bisa dibicarakan dengan kepala dingin, dalam ruang dialog yang setara, tanpa kehilangan substansi.
Di tengah tren pemimpin yang mudah tersinggung, Sirajudin tampil sebagai anomali. Ia memperlihatkan bahwa wibawa seorang pemimpin justru tumbuh saat berani membuka diri, bukan ketika menutup rapat pintu kritik. Di saat kritik sering ditanggapi dengan amarah, ia memilih menanggapinya dengan dialog.

Sirajudin itu beda. Pokoknya beda.

Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar