Penulis: Ramdan Buhang, SP
(Pemimpin Redaksi binadow.com, Presidium KAHMI Boltara)
Indonesia sedang berdiri di simpang jalan berbahaya. Angin global berhembus kencang: perang dagang, ketegangan geopolitik, hingga pasar keuangan yang seperti ombak tak kunjung tenang. Ekonomi nasional pun goyah, seakan berdiri di tepi jurang yang menunggu korban.
Di tengah kabut itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengayunkan langkah mengejutkan: Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) digelontorkan ke bank-bank pelat merah. Dana jumbo, yang diharapkan menjadi bahan bakar mesin ekonomi yang mulai tersendat.
Tapi apakah turbo ini benar-benar mempercepat laju, atau justru membuat mobil negara tergelincir di tikungan?
SAL sejatinya payung di musim hujan, cadangan di kala panik. Tapi payung itu kini bolong. Dari Rp440 triliun yang tersimpan, tinggal Rp138,4 triliun yang tersisa setelah defisit dan pembiayaan lain melahap sebagian besar. Padahal, belanja wajib bulanan pemerintah bisa mencapai Rp200–250 triliun.
Artinya, dana cadangan sudah lebih kecil dari kebutuhan sebulan. Bayangkan rumah tangga dengan gaji bulanan habis untuk cicilan, sementara tabungan hanya cukup buat setengah bulan. Sekali ada musibah, semua bisa runtuh.
Ekonom Indef, M Rizal Taufikurahman, mengingatkan, bila kas negara seret, bukan hanya gaji aparatur yang bisa terlambat cair. Pemerintah bisa terpaksa meminjam di pasar ketika cuaca sedang buruk. Hasilnya, bunga melonjak, utang menggunung, dan kredibilitas fiskal terkikis.
Sejarah pernah menuliskan bab kelam itu. Tahun 2015, di era Bambang Brodjonegoro, harga minyak terjerembab, pajak meleset, kas negara tipis. Sejumlah belanja terpaksa ditunda, transfer daerah tersendat. Pasar langsung mencium darah: yield obligasi naik, kepercayaan investor merosot.
Kini, ancaman itu berputar kembali. Dana Rp200 triliun ditempatkan di Himbara. Tapi perbankan, kata ekonom Achmad Nur Hidayat, bukan kekurangan bensin. Masalahnya pedal gas kredit enggan diinjak. Likuiditas longgar, tapi kredit tetap seret.
Maka suntikan dana jumbo ini ibarat turbo di mobil yang masih bingung arah. Bila jalan lurus, turbo mendongkrak kecepatan. Bila jalan berkabut, turbo justru memperbesar risiko tergelincir.
Lebih buruk lagi, pipa-pipa bank bisa salah menyalurkan air. Bendungan besar bisa kering sia-sia bila katup longgar dan meteran rusak. Sawah produktif tetap kering, sementara halaman mewah kebanjiran.
Keberanian pemerintah patut dicatat. Tapi keberanian tanpa disiplin adalah nekat. Kas negara bukan sekadar angka di neraca; ia penopang kredibilitas sebuah bangsa. Turbo Rp200 triliun bisa membawa Indonesia keluar dari kabut. Tapi salah langkah, ia bisa berubah jadi bom waktu fiskal yang dentumannya terdengar hingga generasi berikutnya. (**)

Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar