Oleh: Ramdan Buhang
Direktur PT Media Siber Binadow | Jurnalis sejak 2010
Pecahnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tak ubahnya sebuah tragedi yang menyayat identitas kolektif insan pers di negeri ini. Sebagai organisasi wartawan tertua dan terbesar, PWI telah lama menjadi rumah bersama, tempat jurnalis lintas generasi bertumbuh dalam semangat profesionalisme, solidaritas, dan etika jurnalistik. Ia bukan sekadar struktur organisasi; PWI adalah simbol—dari kepercayaan, dari perjuangan, dari sejarah panjang kemerdekaan pers Indonesia. Namun kini, rumah itu retak. Retak oleh konflik internal yang tak lagi bisa disembunyikan di balik senyum protokoler atau pidato seremonial. Perpecahan yang terjadi bukan sekadar pertarungan pendapat, melainkan telah berkembang menjadi pertarungan kuasa, mempertaruhkan marwah organisasi yang selama ini dijaga dengan susah payah.
Benturan etika, perbedaan tafsir terhadap aturan organisasi, dan tarik-menarik kepentingan individual telah menyeret PWI ke dalam krisis identitas yang dalam. Legitimasi pengurus dipertanyakan, kepercayaan publik terguncang, dan semangat kolektif mulai tercerai-berai. Di tengah pusaran konflik ini, satu nama mencuat sebagai titik mula gejolak: Sayid Iskandarsyah. Dari satu keputusan terhadap satu individu, menggelindinglah bola panas yang tak terbendung, menyingkap fragmen-fragmen keretakan lama yang selama ini mungkin hanya terpendam. Dalam riuh rendah narasi konflik, nama Sayid menjadi simbol—bagi sebagian sebagai korban ketidakadilan, bagi sebagian lain sebagai pemicu kerusakan sistem. Dan dari situlah, badai besar dalam tubuh PWI dimulai.
Awal Mula Gejolak: Sanksi Dewan Kehormatan
April 2024 menjadi babak awal dari kisruh yang mengguncang tubuh Persatuan Wartawan Indonesia. Kala itu, Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat menjatuhkan sanksi tegas kepada Sayid Iskandarsyah, Sekretaris Jenderal yang sebelumnya merupakan salah satu figur sentral dalam struktur organisasi. Ia diduga terlibat dalam penyalahgunaan dana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) senilai Rp1,77 miliar—sebuah tuduhan serius yang langsung mengguncang kepercayaan internal. DK, sebagai penjaga etika dan kehormatan organisasi, tidak tinggal diam. Melalui proses sidang kode etik, Sayid dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian sementara selama satu tahun. Keputusan ini bukan hanya bentuk penegakan disiplin, tapi juga sinyal bahwa organisasi ingin menunjukkan keberanian membersihkan dirinya dari potensi moral hazard.
Namun, bukannya menerima sanksi dengan sikap legowo, Sayid justru memilih jalur perlawanan hukum. Ia menggugat Dewan Kehormatan dan beberapa pengurus PWI Pusat secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tak tanggung-tanggung, gugatan itu menuntut ganti rugi materiil dan imateriil lebih dari Rp100 miliar—angka fantastis yang sontak menimbulkan pertanyaan: apakah konflik internal PWI telah bergeser dari ranah etik ke panggung ego dan kalkulasi pribadi? Gugatan ini pun menjadi preseden: untuk pertama kalinya, keputusan lembaga etik dalam organisasi wartawan digugat secara terbuka di hadapan hukum negara.
Namun pada 18 Maret 2025, pengadilan mengeluarkan putusan yang menjadi penanda penting dalam perjalanan konflik ini. Gugatan Sayid ditolak seluruhnya. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa perkara tersebut adalah urusan internal organisasi, dan bahwa Dewan Kehormatan memiliki kewenangan sah untuk menjatuhkan sanksi sesuai aturan yang berlaku dalam AD/ART PWI. Putusan ini tidak hanya memperkuat posisi DK sebagai lembaga etik yang otonom, tapi juga menjadi tamparan telak bagi upaya personalisasi konflik dalam tubuh organisasi. Sayangnya, alih-alih meredakan suasana, putusan ini justru menjadi bahan bakar baru bagi eskalasi pertentangan yang lebih luas.
Hendry CH Bangun vs Dewan Kehormatan
Namun konflik dalam tubuh PWI tidak berhenti pada sanksi terhadap Sayid Iskandarsyah. Justru dari titik inilah bara perpecahan membesar. Ketua Umum PWI hasil Kongres Bandung 2023, Hendry CH Bangun, secara terbuka menolak mengakui keputusan Dewan Kehormatan terhadap Sayid. Dalam sikap yang memicu kontroversi luas, Hendry tidak hanya mempertahankan Sayid sebagai Sekretaris Jenderal, tetapi juga melakukan perombakan struktur kepengurusan tanpa melalui mekanisme konsultatif dan etik yang menjadi mandat DK. Tindakan ini sontak menimbulkan kekhawatiran akan matinya sistem pengawasan internal yang selama ini menjadi benteng terakhir integritas organisasi.
Langkah Hendry dipandang oleh sebagian kalangan sebagai bentuk ketidaksesuaian terhadap prinsip-prinsip organisasi yang sehat. Beberapa anggota PWI merasa heran dengan keputusan Ketua Umum yang, seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung etika dan tata kelola, justru mengabaikan keputusan lembaga etik yang sah dan konstitusional. Dari sudut pandang kelembagaan, langkah tersebut dikhawatirkan dapat memengaruhi marwah organisasi dan berpotensi memicu krisis legitimasi yang lebih luas. Beberapa pihak khawatir bahwa sistem check and balance, yang merupakan fondasi utama tata kelola demokratis dalam organisasi profesi, bisa terancam apabila mekanisme ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Kekecewaan pun meluas—baik dari internal PWI di berbagai daerah, maupun dari para tokoh senior dan pemerhati dunia pers.
Kondisi ini menguatkan kesan bahwa konflik bukan lagi soal individu, melainkan telah menjelma menjadi perebutan arah dan wajah PWI ke depan. Apakah PWI akan tetap berdiri di atas pilar etika dan independensi, atau tenggelam dalam tarik menarik kepentingan dan kompromi kekuasaan? Dalam momen inilah, sejarah mencatat bagaimana sebuah organisasi besar bisa goyah bukan karena serangan dari luar, melainkan oleh luka yang dibiarkan membusuk di dalam.
Kongres Luar Biasa dan Kubu Tandingan
Pada Juni 2024, ketegangan dalam tubuh Persatuan Wartawan Indonesia mencapai puncaknya. Ketidakpuasan terhadap sikap Hendry CH Bangun yang terus mempertahankan Sayid Iskandarsyah dan merombak kepengurusan tanpa merujuk pada keputusan Dewan Kehormatan memunculkan aksi balasan. Sejumlah pengurus dan anggota yang merasa kecewa serta khawatir dengan arah PWI yang semakin terpolarisasi menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Pekanbaru. Dalam KLB yang penuh ketegangan ini, Zulmansyah Sekedang terpilih sebagai Ketua Umum, menggantikan Hendry. Keputusan tersebut langsung memecah belah suara anggota, membuka babak baru dalam sejarah PWI yang penuh gejolak.
Langkah ini tidak hanya menuai sorotan tajam, tetapi juga memicu perdebatan sengit di kalangan pengurus dan anggota. Sebagian pihak menganggap KLB tersebut sebagai langkah penyelamatan organisasi dari cengkraman kepemimpinan yang dianggap telah gagal menjalankan amanat organisasi dan menodai integritas PWI. Mereka menilai, KLB adalah respons yang sah untuk menyelamatkan kredibilitas dan keberlanjutan PWI. Namun, di sisi lain, ada yang menyebut langkah ini inkonstitusional dan melanggar aturan organisasi karena tidak diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Argumen ini semakin memperkeruh suasana, karena legalitas SK yang dikeluarkan oleh Kemenkumham menjadi pegangan utama kubu Hendry untuk mempertahankan legitimasi kepengurusan mereka.
Sejak saat itu, Persatuan Wartawan Indonesia terbagi menjadi dua kubu besar dengan narasi dan klaim yang berbeda. Kubu Hendry, yang berpegang pada legalitas SK Kemenkumham, menilai bahwa hanya mereka yang sah dan diakui secara hukum. Sementara itu, kubu Zulmansyah, yang mengutamakan legitimasi etis dan moral organisasi, berpendapat bahwa keputusan KLB adalah wujud keinginan mayoritas anggota yang merasa kecewa terhadap kepemimpinan Hendry yang dianggap otoriter dan tidak peka terhadap dinamika internal. Kedua kubu ini pun semakin terpolarisasi, dengan masing-masing mengklaim sebagai pewaris sah dari mandat PWI, dan membentuk jalur politik serta kebijakan yang berbeda.
Bagi PWI, perpecahan ini tak sekadar soal siapa yang memimpin, tetapi juga tentang bagaimana mempertahankan prinsip-prinsip yang telah lama menjadi fondasi organisasi—independensi, etika, dan pelayanan terhadap kepentingan publik. Perpecahan ini juga menambah panjang daftar tantangan yang harus dihadapi dunia pers Indonesia. Akankah PWI mampu menyatukan kembali dua kubu yang telah terpisah, ataukah konflik ini akan terus merusak fondasi organisasi yang telah dibangun selama puluhan tahun?
Dua PWI, Dua HPN, Satu Organisasi yang Terkoyak
Puncak dari perpecahan internal PWI terjadi pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025, yang dengan tragis digelar dalam dua versi berbeda. Kubu Hendry, dengan segala klaim legalitas administratifnya, menggelar perayaan HPN di Banjarmasin, sementara kubu Zulmansyah memilih Pekanbaru sebagai lokasi untuk memperingati hari bersejarah tersebut. Bagi banyak kalangan, momen ini bukan sekadar masalah administratif yang terpecah, melainkan simbol keretakan kepercayaan terhadap organisasi yang seharusnya menjadi perekat antara sesama jurnalis. Kehadiran dua HPN yang tidak saling mengakui menjadi ilustrasi paling nyata dari kegagalan PWI untuk menjaga integritas internalnya. Seharusnya, HPN menjadi ajang untuk merayakan kebebasan pers dan menyatukan jurnalis di seluruh Indonesia, namun alih-alih membawa persatuan, acara tersebut justru memperburuk perpecahan yang ada.
Meski begitu, ada titik terang dalam perjalanan panjang konflik ini. Pada 18 Maret 2025, kemenangan Dewan Kehormatan (DK) PWI atas gugatan Sayid Iskandarsyah menjadi penanda penting bagi arah organisasi ke depan. Putusan inkrah pengadilan menyatakan bahwa keputusan DK sah dan mengikat dalam kerangka internal PWI. Ini menjadi langkah pemulihan kepercayaan dari segi etika dan tata kelola organisasi. Namun, ironisnya, kubu Hendry yang menolak keputusan DK, tetap mempertahankan legalitas administratif melalui SK Kemenkumham yang dikeluarkan untuknya. Meskipun sah secara hukum negara, kenyataannya SK tersebut tidak bisa menghapuskan kebenaran moral dan etik yang telah ditegaskan oleh DK.
Inilah dilema klasik yang menghantui PWI: legalitas administratif vs. legitimasi moral-organisatoris. Organisasi ini terjebak dalam situasi ganda yang tak mudah diselesaikan. Di satu sisi, PWI dianggap sah oleh negara melalui SK Kemenkumham, tetapi di sisi lain, kredibilitasnya dipertanyakan oleh sebagian besar anggotanya, yang lebih mementingkan legitimasi moral dan prinsip-prinsip etika organisasi. Tidak ada jawaban mudah untuk dilema ini. Keputusan yang sah secara hukum tidak selalu mencerminkan kebenaran dalam hati nurani organisasi itu sendiri. Hal inilah yang memperburuk keadaan, di mana PWI kini terperangkap dalam ketegangan antara sistem hukum negara dan norma organisasi yang lebih luhur.
Polarisasi dan Ketegangan di PWI Daerah
Konflik yang mengoyak tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) nyatanya tak berhenti di lingkaran elite pusat. Getarannya menjalar hingga ke akar rumput organisasi di daerah, memunculkan kegelisahan, ketegangan, dan bahkan polarisasi di antara sesama anggota. Di berbagai wilayah, dampak dari konflik kepemimpinan pusat mulai terasa nyata. PWI Sulawesi Utara menjadi salah satu panggung di mana percikan bara itu menyala.
Ketua PWI Pusat versi Kongres Luar Biasa (KLB), dalam langkah yang dianggap sebagai upaya konsolidasi, mencopot Voucke Lontaan dari jabatannya sebagai Ketua PWI Sulut serta Merson Simbolon sebagai Sekretaris. Melalui Surat Keputusan nomor 134-PGS/A/PP-PWI/II/2025, jabatan keduanya digantikan oleh Vanny Loupatty sebagai Plt Ketua dan Ardison Kalumata sebagai Plt Sekretaris. Namun keputusan itu bukannya menyelesaikan, justru menyulut gejolak baru. Voucke dan Merson balik menyerang, menuding pengangkatan tersebut cacat prosedur dan mengarah pada dugaan pemalsuan dokumen organisasi, termasuk penggunaan logo dan cap PWI Sulut yang dinilai tidak sah.
Tak berhenti pada narasi di ruang publik, persoalan ini bergulir ke jalur hukum. Voucke dan Merson melaporkan dugaan pemalsuan tersebut ke Polda Sulawesi Utara, sebagaimana tertuang dalam Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) Nomor: STTLP/B/199/III/2025/SPKT/POLDA SULUT. Laporan ini menambah panjang daftar babak konflik PWI yang kini tak lagi terbatas di ruang wacana, tapi telah beririsan dengan wilayah pidana.
Langkah Vanny Loupatty pun tak berhenti di tingkat provinsi. Setelah menerima SK pengangkatan, ia segera melakukan perombakan struktur di tingkat kabupaten/kota. Salah satu langkah strategisnya terjadi di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut). Di sana, Vanny menunjuk Kurniawan Golonda sebagai Plt Ketua dan Ishak Nanai sebagai Sekretaris, menggantikan Ketua PWI Bolmut sebelumnya, Patris Babay, dan Chandriawan Datuela.
Namun seperti di tingkat provinsi, keputusan ini langsung dibalas dengan resistensi. Patris Babay menolak pengangkatan tersebut dan menuding SK yang diterbitkan oleh Vanny adalah abal-abal. Tak hanya dalam pernyataan lisan, Patris bahkan menuliskan kritik tajam melalui artikel yang beredar luas di kalangan wartawan Bolmut. Dalam artikel itu, ia menyindir keberadaan “PWI Abal-abal” yang menurutnya mulai berkeliaran di wilayah tersebut.
Kondisi ini memunculkan polarisasi yang kian terasa. Namun alih-alih menerima atau menolak secara tegas, sebagian besar pengurus dan anggota justru memilih diam. Mereka diliputi kebingungan, tak ingin gegabah bersikap di tengah konflik yang belum jelas ujungnya. Banyak yang menanti arah angin dari Dewan Pers, berharap ada putusan yang bisa menjadi rujukan sahih untuk melangkah. Dalam ketidakpastian itu, suara yang dulu lantang kini berubah menjadi gumam pelan di antara bisik-bisik ruang redaksi.
Lebih dari sekadar pergantian jabatan, konflik ini memperlihatkan bahwa krisis di tubuh PWI telah meluber ke daerah dan menyisakan ketidakpastian yang dalam. Ketika pusat dan daerah saling bersilang arah, dan ketika ruang dialog digantikan oleh saling lapor serta sindiran tajam di media, maka organisasi ini tengah berjalan di tepi jurang. Jika tidak segera ditata kembali dengan semangat rekonsiliasi dan penghormatan terhadap nilai-nilai profesi, maka bukan hanya struktur yang goyah, tetapi juga kepercayaan yang selama ini menjadi fondasi keberadaan PWI di mata anggotanya.
Refleksi: PWI ke Mana Arahmu?
Sebagai insan pers, kita diajarkan untuk menjunjung tinggi etika, integritas, dan profesionalisme dalam setiap langkah kita. Namun, bagaimana jika lembaga yang seharusnya menjadi teladan dalam hal-hal tersebut, justru gagal menjaga etika itu sendiri? Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebagai organisasi profesi yang telah lama menjadi rumah bagi jurnalis di seluruh Indonesia, kini menghadapi ujian besar. Konflik internal yang terus berlarut-larut ini menantang prinsip-prinsip dasar yang menjadi pondasi dari setiap pemberitaan yang baik dan beretika. PWI harus sadar bahwa, tanpa etika dan integritas, organisasi ini kehilangan apa yang seharusnya menjadi nilai intinya: kepercayaan.
Untuk itu, PWI perlu kembali menemukan jati dirinya sebagai organisasi profesi, bukan sekadar arena kekuasaan yang mempertaruhkan nama baik dan kelangsungan lembaga demi ambisi pribadi. Jika konflik ini terus dibiarkan tanpa adanya upaya rekonsiliasi, maka bukan hanya anggotanya yang akan kecewa, tetapi juga publik yang semakin kritis terhadap lembaga yang seharusnya menjaga suara kebenaran. PWI yang selama ini menjadi simbol kebebasan pers, akan kehilangan kredibilitasnya, bukan hanya di mata anggota dan pengurusnya, tetapi juga di hadapan masyarakat luas yang mengandalkan wartawan sebagai garda depan informasi yang jujur dan akurat.
Rekonsiliasi dalam tubuh PWI tidak harus diawali dengan memperdebatkan legalitas keputusan atau dokumen administratif semata. Yang lebih penting adalah adanya kerendahan hati untuk mendengar dan menanggapi suara nurani organisasi itu sendiri. Sebuah rekonsiliasi yang tulus dimulai dari kesadaran untuk mengedepankan kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi atau golongan. PWI harus mampu melepaskan ego, menjembatani perbedaan, dan kembali pada semangat awal pendiriannya: untuk menjaga dan memperjuangkan profesi wartawan dengan segala etika dan tanggung jawab moral yang melekat padanya.
Kini, saatnya bagi PWI untuk berhenti terjebak dalam permainan politik internal yang merusak dan mulai memfokuskan diri pada apa yang benar-benar penting: memperbaiki hubungan antar anggota, memperkuat fondasi etika, serta menjaga keberlanjutan dan relevansi organisasi di tengah dinamika dunia pers yang terus berkembang. Jika PWI berhasil melewati ujian besar ini dengan rekonsiliasi yang sejati, maka organisasi ini akan kembali dipercaya dan dihormati oleh semua pihak. Namun, jika perpecahan terus dibiarkan, tidak hanya PWI yang akan menderita, tetapi juga dunia pers Indonesia yang telah lama mengandalkan PWI sebagai lembaga yang mengayomi dan memberi arah.
Penutup
Sebagai insan pers, kita diajarkan untuk menjunjung tinggi etika, integritas, dan profesionalisme. Tapi bagaimana jika lembaga tempat kita bernaung justru gagal menjaga etika itu sendiri?
PWI perlu kembali ke jati dirinya: organisasi profesi, bukan arena kekuasaan. Jika konflik ini terus dibiarkan tanpa rekonsiliasi, maka bukan tidak mungkin PWI akan kehilangan kredibilitas – bukan hanya di mata anggotanya, tetapi juga di hadapan publik yang semakin kritis. Rekonsiliasi tidak harus dimulai dari legalitas, tapi bisa dimulai dari kerendahan hati untuk mendengar suara nurani organisasi.
Hari ini, wartawan dituntut untuk semakin profesional, tapi rumah besar wartawannya justru rapuh oleh pertikaian. Ini bukan hanya soal siapa yang menang, tapi soal apa yang tersisa dari nilai-nilai yang kita perjuangkan bersama.
PWI harus segera menentukan arah: tetap menjadi tempat berkumpul insan pers yang berintegritas, atau hanya menjadi organisasi yang terjebak dalam konflik tanpa ujung – kehilangan kepercayaan dari mereka yang dulu menjadikannya rumah.
Tulisan ini lahir dari kegelisahan seorang jurnalis, yang masih meyakini bahwa organisasi profesi seharusnya menjadi ruang aman untuk bertumbuh, bukan ladang saling menjatuhkan. Bahwa rumah sejati bukan dibangun dari ambisi, tapi dari kepercayaan yang dijaga bersama. (*)

Meniti karier sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar