Oleh; Ramdan Buhang
Ada yang mengendap dalam dada, bukan karena takut, tapi karena muak. Bukan hanya soal harga diri yang diinjak, tapi tentang bagaimana kebenaran hari ini bisa dikoyak oleh lidah yang tak tahu malu.
Fitnah bukan lagi senjata licik yang digunakan secara sembunyi-sembunyi. Kini ia dipertontonkan, diarak ke mana-mana, seperti piala dari ajang kebencian. Orang-orang bebas menuduh, menyebar cerita busuk, lalu merasa paling benar karena didengar oleh segelintir pengikutnya. Mereka mencemarkan nama baik orang lain seolah sedang menyampaikan kebenaran suci. Padahal, semua itu cuma racun yang dibungkus dengan topeng kesalehan.
Fitnah itu menyebar ke mana-mana. Tak ayal, saya menerima beberapa tangkapan layar percakapan—baik dari WhatsApp maupun Messenger Facebook—yang dengan terang-terangan mempergunjingkan fitnah kejam terhadap saya. Kata-kata mereka bukan hanya menyakitkan, tapi menghina akal sehat. Mereka menyebarkan tuduhan seolah itu fakta, padahal tak ada dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bahkan, dalam sebuah diskusi, seorang teman saya menceritakan, ia pernah menanyakan langsung kepada salah satu dari mereka: “Dari mana asal tuduhan itu?” Jawaban yang ia dapatkan sungguh mencengangkan. Dengan tanpa malu, orang itu berkata bahwa sumbernya adalah “A1 dari Tim Cyber Crime.” Entah Cyber Crime yang mana, masih belum jelas. Tapi jika yang mereka maksud adalah Tim Cyber Crime Polda Sulut, maka ini bukan sekadar fitnah biasa. Ini sudah melibatkan institusi negara.
Menyebut nama institusi penegak hukum untuk membenarkan kebohongan adalah bentuk manipulasi yang sangat serius. Jika benar mereka menjual nama Tim Cyber Crime hanya untuk menakut-nakuti atau menguatkan fitnah, maka ini harus diusut tuntas. Jangan sampai nama baik Polri digunakan sebagai tameng untuk menyebar kebencian.
Tidak hanya itu, ada juga yang menuduh saya dengan alasan yang semakin absurd. Mereka mengatakan bahwa perjalanan saya ke Kota Palu—yang sebenarnya dalam rangka tugas peliputan peresmian asrama mahasiswa dan MoU dengan Universitas Alkhairaat—adalah bagian dari sebuah agenda yang tidak jelas. Padahal, perjalanan tersebut dilakukan tanpa sepeser pun menggunakan anggaran negara. Ya, Anda tidak salah baca, sepeser pun saya tidak gunakan anggaran negara untuk membiayai perjalanan saya. Semua biaya saya tanggung sendiri, tanpa mengandalkan dana pemerintah atau meminta sumbangan dari pejabat atau pihak manapun. Jika ada yang beranggapan perjalanan ini bertujuan untuk kepentingan pribadi atau politis, saya harus tegaskan bahwa mereka sepenuhnya salah.
Bahkan, saya tidak merogoh kantong pejabat atau meminta fasilitas kamar hotel yang mewah.dengan kesadaran penuh bahwa ini adalah bagian dari pekerjaan profesional saya sebagai seorang jurnalis. semua itu saya lakukan untuk memberikan informasi yang layak bagi publik, sebagai bentuk tanggung jawab saya menyajikan berita yang tepat dan transparan, bukan untuk tujuan pribadi atau politik.
Namun, anehnya, meski semua ini jelas dan bisa dibuktikan, mereka terus berusaha menciptakan narasi yang tidak berdasar, memutarbalikkan fakta-fakta yang ada, dan mencoba menyudutkan saya dengan tuduhan yang tidak punya dasar sama sekali. Ini bukan hanya soal pembelokan fakta, tetapi juga usaha untuk mendiskreditkan saya di mata publik. Mereka berusaha mengubah perjalanan jurnalistik yang sah menjadi sebuah konspirasi yang kabur dan penuh kecurigaan.
Mereka yang menganggap perjalanan ini sebagai bagian dari agenda terselubung jelas tidak paham tentang etika jurnalistik. Sebagai seorang jurnalis, saya bekerja untuk fakta, bukan untuk menciptakan drama. Semua yang saya lakukan adalah untuk menyajikan kebenaran, tanpa embel-embel kepentingan pribadi atau pihak manapun. Namun, celakanya, fitnah ini tak berhenti sampai di sini, dan mereka terus berusaha mencoreng nama baik saya.
Saya sudah menempuh jalur hukum. Laporan resmi sudah dibuat. Bukti-bukti pun telah diserahkan kepada aparat. Ini bukan sekadar luapan emosi pribadi, tapi bentuk kepercayaan saya terhadap sistem hukum di negeri ini. Karena itu, saya menaruh harapan besar agar laporan ini ditindaklanjuti secara serius. Jangan sampai kepercayaan masyarakat runtuh hanya karena segelintir pelaku fitnah dibiarkan bebas, seolah tak terjadi apa-apa.
Saya tidak menulis ini karena dendam. Tapi karena ingin menyampaikan bahwa negara ini akan rusak jika membiarkan fitnah terus bergentayangan. Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik kata “sabar” atau “biarlah Tuhan yang membalas”. Karena ada luka yang diciptakan oleh manusia, dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum manusia pula.
Maka saya ingin sampaikan, dengan kalimat yang sederhana tapi penuh harap: Pak Polisi, mohon tangkap para pemfitnah itu. Jangan biarkan mereka menjadikan kebohongan sebagai alat untuk menjatuhkan sesama. Jangan biarkan rumah ibadah menjadi tempat di mana kebenaran dikubur hidup-hidup oleh kebencian yang dibungkus religiusitas palsu.
Tangkap mereka, bukan untuk membalas, tapi untuk memberi pelajaran bahwa lidah yang dibiarkan liar bisa lebih tajam dari senjata. Dan bahwa setiap kata ada pertanggungjawabannya. Di dunia, sebelum di akhirat.
Salam Hormat
Ramdan Buhang
Baca Juga : Ketika Fitnah Diumbar di Rumah Tuhan: Catatan Seorang Jurnalis

Presidium KAHMI Bolmut, Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar