Oleh: Ramdan Buhang
Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) baru saja menorehkan langkah bersejarah yang semestinya menjadi harapan baru bagi masa depan daerah. Pemerintah Kabupaten Bolmut bekerja sama dengan Universitas Alkhairaat (Unisa) Palu membuka akses pendidikan kedokteran bagi generasi muda Bolmut. Sebuah inisiatif besar, mengingat selama ini sektor kesehatan di daerah ini kerap kekurangan tenaga medis. Lebih membanggakan lagi, seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh Pemda—sebuah langkah berani yang tak hanya patut diapresiasi, tetapi juga menjadi harapan bagi banyak keluarga sederhana.
Namun, dalam momen penting yang semestinya menjadi langkah maju bagi masa depan daerah ini, justru muncul satu catatan menyakitkan. Kepala Dinas Kesehatan Bolmut, Ali Dumbela, absen dalam acara penandatanganan nota kesepahaman. Sosok yang seharusnya berdiri di garda depan transformasi sektor kesehatan itu justru menghilang dari panggung.
Ketidakhadiran Ali bukan perkara sepele. Ia bukan sekadar tak datang menandatangani dokumen. Ali telah menunjukkan ketidakseriusan dalam menyambut terobosan penting untuk sektor yang ia pimpin. Begitu gentingnya situasi ini, Bupati Dr. Sirajudin Lasena bahkan harus meminta Asisten II, Dr. Abdul Nazarudin Maloho, untuk memparaf dokumen sebagai pengganti. Langkah ini dilakukan demi menjaga wibawa dan kesan keseriusan Pemda Bolmut di mata pihak Universitas Alkhairaat. Bayangkan, betapa memalukan dan canggungnya keadaan ketika kepala dinas yang bersangkutan justru menghilang dari tanggung jawab.
Yang lebih menyedihkan, dalam sebuah pernyataan di salah satu media lokal, Ali Dumbela justru memberikan keterangan defensif. Ali berdalih, “Itu bukan kewenangan kami, itu kewenangan Kesra.” Sebuah pernyataan yang tidak hanya terkesan menghindar, tapi juga memperlihatkan pemahaman yang dangkal atas tanggung jawabnya sebagai Kepala Dinas Kesehatan. Apakah menyiapkan sumber daya manusia di bidang kesehatan bukan menjadi bagian dari pekerjaannya?
Saat masyarakat menggantungkan harapan pada program ini, Ali justru sibuk mencari celah untuk melempar tanggung jawab. Padahal, pendidikan kedokteran bukan hanya urusan birokrasi antarbagian, tapi masa depan pelayanan kesehatan Bolmut secara keseluruhan. Di tengah inisiatif Pemkab yang luar biasa, absennya seorang pejabat utama sektor kesehatan dan sikap lepas tanggung jawab seperti ini adalah noda yang mencoreng momentum.
Seorang kepala dinas bukan hanya pemilik jabatan administratif. Ia adalah simbol tanggung jawab dan kepemimpinan. Ketidakhadiran Ali dalam acara penting itu telah meruntuhkan kepercayaan publik. Seolah mempertegas: jabatan bisa dimiliki, tapi tanggung jawab belum tentu.
Apa gunanya seorang pejabat publik jika tak hadir dalam momen strategis pembangunan sektor yang ia emban? Apakah kita akan terus membiarkan kursi penting diduduki oleh orang-orang yang tak bisa diajak berlari ketika waktu mendesak kita untuk maju?
Ali Dumbela mungkin merasa keputusannya untuk absen adalah hal sepele. Tapi masyarakat Bolmut tidak akan lupa bahwa di hari ketika masa depan mereka mulai ditata, sang kepala dinas memilih untuk tak berdiri bersama mereka. Ia memilih diam, dan lebih buruk lagi—mencuci tangan.
Sudah waktunya Pemda Bolmut menaruh perhatian serius pada persoalan ini. Jika sektor kesehatan ingin benar-benar maju, maka pemimpinnya pun haruslah orang yang bersedia berdiri di garis depan, bukan yang gemar menghindar dan menunggu gaji di balik meja. Jangan biarkan pejabat seperti ini menjadi penghambat gerak maju daerah.
Masyarakat Bolmut butuh pemimpin yang hadir—bukan hanya dalam artian fisik, tapi juga secara komitmen dan kesungguhan. Dan dari semua sikap yang telah ditunjukkan, Ali Dumbela telah gagal memenuhi syarat itu.(*)

Meniti karier sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar