Oleh: Yulianti Musa, SH
Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri, mendiang Lee Kuan Yew menyadari satu hal mendasar:
“Singapura harus berubah agar bisa berkembang.”
Ia tahu, negaranya tak bisa meniru tetangga-tetangganya. “Jika kami sama seperti mereka, kami akan mati,” katanya. Karena itu, Singapura memilih jalur berbeda: tanpa korupsi, efisien, meritokratis—dan berhasil.
Padahal, setelah dikeluarkan dari Federasi Malaysia dan merdeka pada 1965, Singapura adalah negara kecil penuh masalah: pengangguran merajalela, sistem pendidikan tertinggal, perumahan kumuh. Dan yang paling menyulitkan—mereka kekurangan tanah dan sumber daya alam. Tak ada minyak, tak ada tambang. Hanya sedikit air.
Namun dari keterbatasan itu, lahirlah loncatan peradaban. Dalam lima dekade, negara mungil ini menjelma jadi negara maju. Inilah yang saya sebut sebagai “The Power of Kepepet”—sebuah daya dorong luar biasa yang lahir dari tekanan dan keterbatasan. Ketika semua jalan buntu, manusia terdorong berpikir lebih keras, bertindak lebih kreatif, dan bekerja lebih konsisten.
Teori ini punya kaitan dengan gagasan Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel. Menurut Diamond, geografi menentukan keberhasilan suatu bangsa. Letak fisik, iklim, bahkan jenis bakteri, semuanya ikut membentuk jalur sejarah. Ia juga menyebut masyarakat tropis cenderung “malas,” karena alam yang subur memungkinkan hidup dengan usaha minimal. Sebaliknya, masyarakat di wilayah dingin dituntut kerja keras demi bertahan hidup.
Pertanyaannya, kalau begitu, mengapa Singapura—yang juga tropis—bisa sukses?
Jawabannya: karena mereka tidak punya apa-apa. Tanah pun tak cukup. Tak ada sumber daya berlimpah, tak ada warisan kekayaan alam seperti di Indonesia. Mereka hanya punya satu hal: kepepet.
Di sinilah refleksi kita dimulai.
Bagaimana dengan Bolaang Mongondow Utara? Apakah kita terlalu nyaman dengan kelimpahan alam yang kita miliki? Apakah kita terjebak dalam zona tropis yang membuat kita enggan berubah?
Bolmong Utara saat ini genap berusia 18 tahun. Usia yang semestinya cukup dewasa untuk menentukan arah. Tapi pertanyaannya: apakah kita sudah benar-benar bergerak? Ataukah justru tertidur dalam lelap panjang zona nyaman, sambil terus memuja tanah yang katanya “tanah surga”?
Jika Singapura bisa melompat jauh tanpa tanah, bagaimana dengan kita yang punya segalanya tapi belum juga bergerak?
Tulisan ini pernah saya kirimkan ke Nirwasita Institute, kini saya tulis ulang dengan sedikit revisi. Sebuah hadiah kecil, reflektif, dan penuh harap untuk daerah yang saya cintai.
Tentang Penulis
Yulianti Musa, lebih dikenal dengan sapaan Putri, adalah perempuan kelahiran Gorontalo, 35 tahun lalu. Saat ini ia berkiprah sebagai pengacara profesional di Ibu Kota Jakarta. Ia menyelesaikan studi S-1 Ilmu Hukum di Universitas Sam Ratulangi pada tahun 2011.
Hubungannya dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara terbilang unik. Putri bukan putri asli daerah, namun telah menetap di Bolmut sejak 15 tahun lalu, setelah menikah dengan pria asal wilayah ini. Meski datang sebagai pendatang, keterlibatannya dalam isu-isu lokal sangat menonjol. Ia dikenal aktif menyuarakan berbagai persoalan geopolitik, sosial kemasyarakatan, terutama yang menyangkut pendidikan, anak, dan perlindungan perempuan.
Bagi Putri, Bolmong Utara bukan sekadar tempat tinggal—ia adalah rumah kedua setelah Gorontalo. Karena itu, ia merasa terpanggil untuk menyumbangkan gagasan dan pemikirannya melalui tulisan, sebagai bentuk kepedulian sekaligus kontribusi nyata bagi daerah yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar