Legenda Sang Kapiten: Binadou Bergerak Maju, Siapa Takut..!

Opini & Analisis115 Dilihat

Oleh: Syamsudin Olii (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)

Keydupa—sebuah nama besar di Kaidipang, wilayah pesisir utara Bolaang Mongondow, dulunya hanyalah sepotong tanah yang terpinggirkan. Tahun 1995, bersama Bolangitang dan Bintauna, daerah ini masih terjebak dalam kemiskinan fasilitas. Jalan penuh lubang, jembatan reyot, kantor pemerintahan tak layak, dan irigasi seadanya. Tiga kecamatan itu seperti anak kandung yang tak diakui, hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan Bolmong induk.

Pemerintah tak hadir. Dana pembangunan minim. Alokasi APBD nyaris tak menjamah wilayah ini. Segala keputusan, dari pendidikan hingga infrastruktur, dikendalikan oleh elite yang jauh dari kehidupan rakyat. Bahkan, peluang menjadi pegawai negeri pun lebih ditentukan oleh latar etnis, bukan kemampuan. Etnis Mongondow lebih diprioritaskan, warga pantai utara hanya jadi penonton.

Namun, kesabaran ada batasnya.

Gerakan ini tak lahir dari gedung tinggi atau forum resmi. Ia tumbuh di rumah-rumah rakyat. Dipelopori oleh Kapten (Purn) Is. Rahman, seorang purnawirawan polisi yang memilih berpihak pada rakyat ketimbang diam di masa pensiun.

“Saya Kapten! Kita jangan takut! Sudah cukup kita dipinggirkan!” teriak Is. Rahman dalam satu pertemuan malam di Kaidipang.

Ia tidak sendiri. Ada nama-nama yang menjadi bara dalam tungku perjuangan itu:

  • I.T. Patadjenu
  • Ismet Lasena
  • R.P. Harunja
  • H.P. Madihutu
  • Ibrahim Goma
  • Salim Totodu
  • Haruji Datuela
  • Alison Patadjenu
  • Yan Lasena

Para tokoh masyarakat ini menggelar pertemuan-pertemuan terbatas, menyusun rencana, membangun kesadaran. Satu gagasan utama muncul: memisahkan diri dari Bolaang Mongondow dan bergabung dengan Kabupaten Gorontalo. Alasan mereka bukan sekadar ekonomi—tetapi identitas. Mereka lebih merasa satu kultur dengan Gorontalo ketimbang Mongondow. Di mata mereka, pengabaian bukan kebetulan. Ia terstruktur.

Rapat di rumah I.T. Patadjenu jadi titik balik. Diputuskan untuk mengirim dua pemuda—Alison Patadjenu dan Yan Lasena—menghadap langsung Bupati Gorontalo, Ahmad Pakaya. Responsnya positif. Pakaya mendukung langkah ini, namun menyarankan semua proses dijalankan melalui Kementerian Dalam Negeri.

Baca Juga  Merajut Asa di Tanah Rantau, Bersyukur dan Berbakti di Bumi Bolaang Mongondow Utara

Lalu surat resmi pun dikirim. Surat dari rakyat utara. Surat dari Sang Kapiten dan pasukannya.

*Saya Adalah Saksi*
Saya tidak menulis ini dari balik meja. Saya bagian dari sejarah itu. Tahun 1995 hingga 2009, saya bekerja di PLN Boroko. Tugas saya sederhana: menyiapkan penerangan saat rapat, mengatur ruang diskusi, memastikan suara rakyat tak padam di tengah malam.

Saya menyaksikan langsung bagaimana obrolan berubah jadi perjuangan, bagaimana rakyat biasa berubah menjadi pejuang. Temu akrab masyarakat Binadou, dan deklarasi perjuangan kabupaten sendiri, adalah buah dari proses panjang yang dimulai dari ketertindasan.

Undang-undang seperti UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 25 Tahun 1999, dan kemudian UU No. 23 Tahun 2014 menjadi landasan hukum. Namun bagi kami di utara, yang lebih penting adalah satu hal: keberanian.

Legenda Kapten Is. Rahman bukan dongeng. Ia nyata. Ia lahir dari keterbatasan. Dari rakyat biasa yang menolak untuk terus disingkirkan. Maka saat Binadou bergerak, tidak ada lagi kata mundur.

Siapa takut?

Komentar