Menikmati Hasil Perjuangan, Jangan Lupa Siapa yang Menanam

Opini & Analisis844 Dilihat

Oleh: Donal Lamunet, S.Pd.I (Anggota DPRD Bolmut, dari Partai Kebangkitan Bangsa)

Saya baru satu tahun menjabat sebagai anggota DPRD. Jabatan ini mungkin tampak terhormat, tapi yang lebih sering saya rasakan adalah beban sejarah. Setiap duduk di ruang sidang, setiap berdiri menyampaikan pandangan, saya tahu: saya berdiri di atas fondasi yang dibangun dengan cucuran keringat, bukan sekadar tinta dan tanda tangan.

Tahun ini, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara genap berusia 18 tahun. Usia yang dalam hitungan manusia, sudah cukup dewasa. Tapi dalam ukuran sebuah daerah, ini baru langkah awal. Dan setiap langkah itu, terasa berat kalau kita tak menoleh ke belakang—kepada siapa yang dulu mendorong kita melangkah.

Sebagai anak daerah yang kini mendapat amanah sebagai anggota DPRD, saya merasa perlu menyampaikan satu hal sederhana namun sangat penting: terima kasih.

Bukan sekadar basa-basi. Ini ucapan yang datang dari hati. Kepada para presidium pemekaran, kepada masyarakat kecil yang menyumbang dari sisa uang belanja, kepada para guru yang mengajar di sekolah-sekolah darurat sambil ikut menandatangani petisi. Terima kasih, karena tanpa kalian, hari ini hanya akan jadi lamunan.

Perjuangan mereka bukan perjuangan yang ditulis dalam rapat-rapat formal. Mereka tak punya fasilitas. Tak ada dana perjalanan dinas. Tak ada penginapan mewah saat ke Jakarta membawa aspirasi. Yang mereka punya hanya keyakinan bahwa Bolmut layak berdiri sendiri—dan bahwa anak cucu mereka layak punya rumah pemerintahan sendiri, sekolah sendiri, rumah sakit sendiri.

Saya membayangkan betapa berat malam-malam itu. Rapat di rumah panggung, di bawah lampu pelita, dengan kopi hitam dan semangat yang tak bisa dihitung dengan angka. Saya membayangkan istri-istri mereka menunggu di dapur, berharap suaminya pulang dengan kabar baik. Dan saya membayangkan anak-anak mereka, tidur tanpa tahu bahwa ayahnya sedang merancang masa depan mereka.

Baca Juga  ASN Bolmut dan Harga Lupa yang Cuma Rp60 Ribu

Kini kita hidup dalam hasilnya. Kita duduk di kursi empuk, rapat di ruang ber-AC, dan disapa “Yang Terhormat” oleh rakyat yang dulu ikut menyiapkan petisi pemekaran. Tapi apa kabar orang-orang tua itu hari ini? Masihkah kita menengok mereka? Atau cukup sekadar menyebut nama mereka saat acara ziarah, lalu lupa lagi esok harinya?

Saya menulis ini bukan sebagai politisi. Tapi sebagai anak daerah. Anak dari tanah yang dibelah oleh perjuangan dan dilahirkan oleh tekad. Saya hanya ingin kita semua, terutama kami yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif, menunduk sejenak. Bukan untuk malu, tapi untuk ingat.

Jangan sampai kita terlalu sibuk memetik buah pembangunan, tapi lupa siapa yang menanam pohonnya. Jangan sampai kita terlalu cepat bangga dengan pencapaian, tapi gagal memberi hormat pada mereka yang bahkan tak sempat mencicipi hasil perjuangannya.

Mari kita isi usia ke-18 Bolmut dengan hal-hal baik. Tapi lebih dari itu, mari kita isi dengan rasa syukur. Syukur yang tak hanya diucap, tapi diwujudkan—dalam tindakan, dalam program, dalam kebijakan. Karena hanya dengan itu, kita benar-benar pantas menyebut diri sebagai bagian dari Bolmut.

Semoga para pejuang pemekaran yang telah wafat ditempatkan di sisi terbaik Tuhan. Dan kepada mereka yang masih hidup, semoga sehat selalu, agar generasi kami bisa terus belajar dari wajah mereka—yang mungkin lelah, tapi tak pernah menyerah.

Komentar