Ketika Fitnah Diumbar di Rumah Tuhan: Catatan Seorang Jurnalis

Opini & Analisis15642 Dilihat

Oleh: Ramdan Buhang

Saya tidak sedang membela diri. Saya sedang melawan sesuatu yang lebih besar dari sekadar tudingan—fitnah yang dilegalkan di ruang ibadah, dengan kemasan seolah kebenaran.

Baru-baru ini, saya dituduh sebagai pemilik akun Facebook anonim bernama “Putri Salju” yang disebut-sebut digunakan untuk menyerang pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Tudingan itu tidak dilayangkan lewat surat resmi, apalagi dibicarakan secara etis. Ia diumbar begitu saja, di sebuah masjid, di hadapan banyak orang, dan tentu saja, tanpa bukti.

Sebagai seorang jurnalis yang telah menekuni profesi ini selama satu dekade, saya terbiasa dengan kritik, bahkan tekanan. Tapi ini berbeda. Ini adalah fitnah yang tidak hanya menyasar reputasi saya, tapi juga menyentuh aspek keselamatan pribadi dan keluarga saya. Ketika nama kita diseret secara terbuka di tempat ibadah, narasi yang terbentuk tak lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang lebih dulu dipercaya.

Saya bertanya-tanya: apakah ini harga dari sebuah idealisme? Bahwa karena saya seorang wartawan, maka saya boleh dicurigai, dihakimi, bahkan diserang hanya karena saya berani menulis dan bersuara? Apakah ini bentuk baru dari pembungkaman—bukan melalui peluru atau larangan siar, tetapi lewat stigma sosial yang disebar lewat mulut ke mulut?

Saya tidak pernah merasa perlu bersembunyi di balik akun palsu untuk menyampaikan kritik. Media adalah ruang saya. Tulisan adalah cara saya berbicara. Kalau saya ingin mengkritik, saya akan menuliskannya secara terbuka, dengan data dan tanggung jawab. Karena itu bagian dari etika jurnalistik yang saya anut, dan saya percaya, publik masih bisa membedakan antara kritik dengan fitnah.

Apa yang terjadi kepada saya mungkin hanyalah satu contoh kecil dari bagaimana jurnalis—terutama di daerah—masih menjadi sasaran empuk ketika narasi yang mereka bangun dianggap tidak menguntungkan pihak tertentu. Dan yang lebih menyedihkan, ruang-ruang suci pun kini dipakai untuk menyebar kebohongan. Seolah-olah tempat ibadah bisa menjadi panggung untuk mengadili seseorang tanpa proses.

Baca Juga  PWI dan Luka yang Belum Sembuh

Saya telah menempuh jalur hukum. Bukan karena saya ingin membalas, tapi karena saya percaya bahwa kebenaran harus dilindungi. Profesi jurnalis bukan profesi yang kebal kritik, tapi kami pun berhak atas perlindungan hukum dan martabat. Sebab ketika fitnah menjadi senjata, maka kebenaran harus menjadi perlawanan.

Saya tahu, mungkin akan ada lagi fitnah berikutnya. Mungkin akan ada lebih banyak mulut yang berbicara tanpa tahu kebenaran. Tapi saya percaya, kebenaran tidak butuh ramai. Ia hanya butuh keberanian untuk diperjuangkan. Dan saya memilih berada di barisan itu—barisan yang percaya bahwa ruang publik harus dibersihkan dari kebencian, dan ruang ibadah harus kembali menjadi tempat suci yang tidak ternoda oleh kepentingan pribadi.

Saya tidak sedang menjadi korban politisasi, tapi target dari fitnah yang kejam. Fitnah yang sengaja dirancang agar saya kehilangan kredibilitas, kehilangan kepercayaan publik, bahkan mungkin kehilangan rasa aman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ini bukan sekadar tuduhan—ini upaya sistematis untuk menebar kepanikan sosial, menjatuhkan martabat saya sebagai wartawan, dan menciptakan jarak antara saya dan orang-orang yang menghargai integritas saya.

Saya curiga, fitnah ini datang dari mereka yang miskin gagasan namun rakus akan pengakuan. Mereka yang mencari muka kepada penguasa lokal, merasa terusik oleh independensi saya, dan terganggu oleh fakta bahwa saya dekat dengan Bupati bukan karena menjilat, tapi karena saya bekerja secara profesional dan terbuka. Tapi saya tidak akan mundur. Sebab diam berarti membiarkan kebohongan tumbuh. Dan saya tidak akan pernah diam.

Saya tidak ingin persoalan ini berlalu begitu saja. Saya tidak ingin fitnah yang kejam ini berakhir tanpa kejelasan, seolah-olah hanya angin lalu yang tak perlu dipersoalkan. Justru sebaliknya—fitnah yang menyerang secara terbuka, di ruang publik dan tempat ibadah, harus dibongkar tuntas. Ini bukan hanya soal nama baik saya sebagai pribadi dan jurnalis, tapi juga soal marwah hukum yang seharusnya melindungi warga dari kejahatan verbal dan manipulasi persepsi publik.

Baca Juga  Tudingan Putri Salju Berujung Laporan Polisi, Ramdan Buhang: Ini Mengancam Keselamatan Saya

Saya menaruh harapan besar kepada aparat kepolisian, khususnya Polres Bolaang Mongondow Utara, untuk menjalankan perannya secara profesional dan tegas. Laporan saya sudah masuk. Bukti-bukti awal sudah saya sampaikan. Sekarang saatnya proses hukum bekerja, bukan untuk membalas dendam, tetapi demi mendapatkan keadilan dan menjernihkan keadaan.

Saya ingin kasus ini menjadi pintu masuk untuk mengungkap siapa sebenarnya sosok di balik akun anonim bernama “Putri Salju”. Akun itu bukan sekadar nama samaran, tapi telah dijadikan alat untuk melukai, menuduh, dan menebar kebencian. Dalam dunia digital hari ini, identitas bisa disembunyikan, tapi jejak tidak bisa dihapus. Saya yakin, jika polisi bekerja serius, akun itu bisa dilacak. Dan bila pemiliknya ditemukan, maka akan terbuka pula siapa yang menyebarkan fitnah ini dari balik layar.

Lebih dari itu, saya juga berharap polisi bisa menelusuri siapa saja yang mungkin terlibat dalam skenario ini. Karena saya tidak percaya bahwa tuduhan ini muncul begitu saja, tanpa motif dan tanpa aktor. Fitnah seperti ini tidak muncul dari kehampaan. Ia dirancang, disebarkan, dan didorong oleh kepentingan—entah karena kebencian pribadi, motif politik, atau upaya menjatuhkan karakter seseorang demi keuntungan tertentu.

Saya menulis ini bukan sebagai bentuk keluhan, melainkan sebagai pernyataan sikap. Bahwa dalam menghadapi fitnah, saya memilih melawan dengan terang, bukan bersembunyi dalam gelap. Saya memilih jalan hukum, bukan jalan kekerasan. Dan saya memilih untuk terus menulis, karena itulah senjata paling jujur yang saya miliki sebagai jurnalis.

Kepada mereka yang mengira bahwa karakter seseorang bisa dihancurkan dengan fitnah, saya hanya ingin mengingatkan satu hal: reputasi yang dibangun dengan kerja dan integritas tidak akan runtuh hanya karena bisik-bisik yang dibalut kebencian. Justru dari tekanan seperti inilah keteguhan diuji, dan saya siap menghadapinya.

Baca Juga  Si Paling Mangkir yang Abaikan Tanggung Jawab, Copot Kadis Kesehatan Bolmut

Saya percaya, kebenaran tidak akan pernah benar-benar padam, selama masih ada orang yang berani berdiri dan bersuara. Dan hari ini, saya memilih untuk menjadi salah satunya.

Salam Hormat
Ramdan Buhang

Komentar