Oleh : Sandi Buhang
Di bawah tenda putih yang mulai berjajar di tengah Alun-alun Boroko, bendera-bendera kecil berkibar di depan rumah-rumah warga. Para pejabat daerah tampak berbondong-bondong mengunjungi dan menundukkan kepala di makam para tokoh pejuang pemekaran. Sementara itu, lagu-lagu daerah mengalun pelan dari ruang latihan sekolah—semuanya menandakan satu hal: hari bersejarah bagi Kabupaten Bolaang Mongondow Utara akan segera tiba.
Tapi di balik semua persiapan dan kemeriahan itu, ada kisah lain yang jarang terdengar. Kisah para sarjana muda Bolmut yang pulang dengan ijazah di tangan, tapi kepala penuh pertanyaan: mau ke mana selanjutnya?
Di tengah kesibukan itu, tampak sosok Abdul Sani duduk di sebuah warung kopi di pinggir Pantai Bersama dua temannya. Matanya menatap deburan ombak yang menabrak bebatuan, sesekali ia menyeruput kopi hangat yang ditemani sepiring stik goroho. Ia tengah memikirkan arah hidupnya ke depan, setelah diberhentikan sebagai pegawai honorer di DPRD Bolmut.
Ia adalah satu dari ratusan—mungkin ribuan—sarjana muda Bolmut yang kini berdiri di persimpangan hidup: memegang gelar, namun belum tahu ke mana harus melangkah.
“Saya lulusan Jurusan Hukum Tata Negara di IAIN Sultan Amai Gorontalo, sejak 2022,” katanya pelan. “Tapi di sini, lapangan kerja seperti angin musim—kadang terasa, tapi tak terlihat.”
Bolmut kini telah berusia 18 tahun. Sebuah usia yang, pada manusia, digambarkan sebagai ambang kedewasaan. Namun bagi sebagian warganya, terutama para lulusan perguruan tinggi, kedewasaan daerah belum mampu menjawab satu pertanyaan paling mendasar: setelah kuliah, lalu apa?
Banyak dari mereka menggantungkan harapan pada satu kata yang makin magis sekaligus menyesakkan: CASN—Calon Aparatur Sipil Negara. Setiap kali formasi diumumkan, ribuan pelamar berebut kursi yang jumlahnya tak sebanding dengan antusiasme. “Bahkan posisi penjaga gedung pun bisa diincar oleh Sarjana Hukum,” canda getir teman Abdul Sani, yang mengaku pernah melamar sebagai satpam di Kejaksaan Negeri Boroko dan di PLTU, namun belum juga diterima.
Ary, Api yang Menyala Diam-Diam
Di Desa Kuala, Kecamatan Kaidipang—jantung pemerintahan Bolmut—tinggal seorang pria bernama Ary P. Muliling. Ia duduk di depan bengkel kecilnya, wajahnya legam bukan karena putus asa, melainkan karena percikan api dari mesin las yang ia genggam setiap hari.
Ary adalah lulusan Sarjana Ekonomi tahun 2020. Seharusnya, menurut buku teks, ia bekerja di kantor ber-AC, mengelola data dan keuangan. Tapi hidup di kampung halaman mengajarkannya satu hal penting yang tak tertulis didalam buku kuliah: bahwa mimpi harus menyesuaikan dengan kenyataan. “Tanggung jawab saya bukan cuma pada gelar, tapi pada istri dan anak saya,” ucap Ary sambil mengelap keringat dari dahinya
Saat bengkel sepi, ia memilih melaut. Ia memang tak punya perahu sendiri, tapi selalu ada ruang di perahu milik pamannya atau kerabat lainnya untuk sekadar menjala ikan. “Saya nggak malu, karena ini cara saya bertahan,” katanya, tersenyum kecil. “Di mata orang mungkin saya pengangguran, tapi di dalam keluarga, saya kepala keluarga.”
Sejak kelahiran putranya dua tahun lalu, Ary belajar satu hal yang tak pernah diajarkan di kampus: mengikis ego bisa membuat hidp lebih baik. Ia tak lagi memikirkan pekerjaan sesuai ijazah, melainkan apa yang bisa ia lakukan hari ini untuk esok yang lebih baik. “Awalnya berat. Orang bertanya, kenapa kuliah tinggi-tinggi kalau akhirnya kerja begini. Tapi sekarang saya tahu, keluarga saya butuh saya tetap kuat, bukan tetap gengsi. Dan saya meyakini, apa yang saya kerjakan itu halal.”
Di akhir perbincangan, tak ada keluhan keluar dari mulutnya—hanya satu pengakuan jujur: jika daerah tak bisa menyediakan lapangan kerja, maka kita sendirilah yang harus menciptakannya.
“Intinya begini: kalau semua orang cerdas pergi dari Bolmut, siapa yang akan bangun daerah ini?” Ary menatap langit sore, wajahnya lelah tapi damai.
Meylan, Menanam Masa Depan
Di tempat lain, seorang perempuan muda tengah menabur benih di kebun nilam miliknya. Namanya Meylan Laudengi, lulusan Sarjana Ekonomi Pembangunan dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), tahun 2021.
Ia bukan nama asing bagi banyak mahasiswa Bolmut. Di masa kuliahnya, ia pernah menjabat sebagai Ketua PPMIBU (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow Utara) organisasi intelektual yang dikenal kritis dan aktif.
Tak banyak yang menyangka, sepulang dari Gorontalo, Meylan justru memilih tanah dan hujan sebagai ruang kerjanya.
“Pertanian bukan jalan buntu, ini ladang peluang,” katanya sambil tersenyum, tangannya tak lepas dari tanah. Ia mengembangkan tanaman nilam, komoditas bernilai tinggi yang menghasilkan minyak atsiri untuk industri kosmetik dan aromaterapi.
Keputusannya tak selalu dipahami oleh sesama alumni. Banyak yang bertanya, kenapa ia “turun derajat” setelah bergelar sarjana.
“Saya tidak menanam ego, saya menanam masa depan. Orang tua saya petani, dan saya percaya, tanah tidak pernah mengecewakan,” ujarnya.
Dengan semangat tinggi dan pengetahuan yang ia gali dari internet, serta pengalamannya sebagai mahasiswa pecinta alam, Meylan mulai merintis usaha nilamnya. Untuk membangun relasi dan memperluas pasar, ia memanfaatkan jaringan teman-teman semasa kuliah.
Api Kecil yang Tak Boleh Padam
Pemerintah daerah memang saat ini terus berupaya mendorong UMKM dan pelatihan keterampilan. Tapi banyak sarjana muda merasa belum terfasilitasi atau bahkan terhubung. Penulis berharap, Pemda Bolmut tidak hanya merayakan masa lalu, tetapi juga belajar mendengar suara masa depan: suara generasi muda yang tidak menuntut, hanya ingin diajak berjalan bersama dalam pembangunan.
Memang, kalua dilihat dari infrastruktur dan sajian data, Bolmut sudah maju—jalan dibangun, layanan publik makin digital, IPM meningkat, angka putus sekolah menurun. Tapi di sisi lain, banyak anak mudanya yang bingung harus ngapain. CPNS bukan satu-satunya solusi. Tapi selama nggak ada alternatif nyata, itu jadi satu-satunya harapan.
Namun, di tengah semua keraguan itu, masih ada api kecil yang tetap menyala. Api dari mesin las Ary, dari benih nilam Meylan, dari perahu yang tetap melaut meski hujan datang tiba-tiba,.
Namun di balik kebimbangan itu, masih ada cahaya kecil yang menyala. Cahaya dari api semangat Ari yang tak padam di bengkel las, Cahaya dari senyuman Meylan yang menanam masa depan di kebun nilam, Cahaya Mentari yang mengantarkan perahu diam-diam melaju meninggalkan daratan, dari Cahaya harapan yang tumbuh—bukan di podium, tapi di ladang serta dari obrolan-obrolan kecil di warung kopi pinggir Pantai.
Jangan sampai api kecil ini padam, hanya karena mereka merasa tak dianggap atau cuma jadi penonton di tengah pesta pembangunan. sebab, pembangunan bukan cuma soal bangunan dan angka statistik. Tapi soal manusia, dan apa yang mereka perjuangkan.
Semoga kisah Ary dan Meylan bisa jadi semacam suluh—yang memberi terang bagi banyak anak muda Bolmut. Bukan sekadar untuk bertahan, tapi untuk bangkit dan kembali percaya: bahwa mereka punya tempat, dan bahwa mereka penting.
Tentang Penulis
Sandi Buhang lahir di pontak pada 09 Februari 2095. Ia kini berdomisili di Desa Pontak, Kecamatan Kaidipang, Bolaang Mongondow Utara. Aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan, Diantaranya, GP Ansor dan Pemuda Pancasila.
Dirinya kini berprofesi sebagai jurnalis serta mengabdikan dirinya di Desa Sebagai Ketua Bumdes Desa Gihang.

Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar