Oleh: Irawan Rahman
Aku berpikir, maka aku ada—prinsip dasar Rene Descartes itu, “Cogito Ergo Sum”, bukan sekadar kutipan filsafat. Ia adalah metode skeptis yang bertanya ulang pada segala hal yang selama ini dianggap benar. Dari sana, kebenaran sejati muncul. Dan pendekatan itulah yang tampaknya relevan saat kita memandang Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) yang kini menginjak usia ke-18 sejak lahir melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007.
Tanggal 23 Mei diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Bolmut, merujuk pada hari peresmian dan pelantikan Penjabat Bupati pertama, Drs. Hironimus R. Makagansa, M.Si, oleh Gubernur Sulawesi Utara kala itu, Dr. Sinyo Harry Sarundajang (Alm).
Dari sana, Bolmut menapaki jalannya sebagai daerah otonom baru—dengan geliat pembangunan, pengorganisasian pemerintahan sementara, hingga hadirnya infrastruktur dasar. Euforia rakyat meledak, seolah tengah merayakan kemerdekaan dari dominasi pusat. Seruan “pulang kampung” menggema ke seluruh penjuru Nusantara bagi putra-putri Binadow, menyambut awal sebuah harapan tentang kemandirian daerah dan kesejahteraan sosial.
Partai politik pun berlomba. Anak-anak daerah dipanggil pulang, dengan harapan otonomi akan menjelma menjadi pilar pembangunan manusia, ekonomi mandiri, dan keadilan sosial. Tapi apa yang benar-benar terjadi?
Tahun 2008, KPUD menetapkan pasangan Hamdan Datunsolang dan Depri Pontoh sebagai Bupati dan Wakil Bupati pertama. Pemerintahan HADAPI ini membawa angin segar—atau setidaknya tampak begitu. Slogannya—Bolmut sebagai Kabupaten Padi. Hasilnya? Tak kunjung panen.
Lalu muncul ide mendatangkan investor kelapa sawit. Gegap gempita perlawanan datang dari mahasiswa yang dulu ikut memperjuangkan berdirinya kabupaten ini. Jika sawit jadi pintu masuk pembangunan, siapa yang bakal terusir lebih dulu? Alam, atau rakyatnya?
Periode berikutnya, Depri Pontoh naik sebagai Bupati dua kali berturut. Pertama bersama Suriansyah Korompot (2013–2018), lalu dengan Amin Lasena (2018–2023). Mereka menyebut Bolmut sebagai Kabupaten JUARA: Jujur, Unggul, Adil, dan Sejahtera. Slogan bagus, namun pendekatan Descartes menantang kita—benarkah pembangunan itu dilakukan secara jujur?
Mari uji lewat pertanyaan. Apakah pembangunan kantor dan pasar dilakukan secara jujur? Sudahkah Bolmut unggul dari 15 kabupaten/kota lainnya di Sulut? Adilkah kebijakannya terhadap petani dan nelayan yang menjadi tulang punggung ekonomi? Dan sejahterakah rakyat yang hidup dari hasil bumi dan laut?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara ketika pasangan IDEAL—Depri Pontoh dan Amin Lasena—berkuasa. Mereka membawa program “Kartu Ideal”, sejenis Jamkesda dan bantuan pendidikan mirip KIP. 10.000 kartu dijanjikan untuk bidang kesehatan, 10.000 untuk pendidikan. Rakyat pun sempat bersorak.
Tapi kartu itu, ternyata, tak lagi sakti. Beberapa warga mendapati kartunya tidak aktif. Di layanan kesehatan, mereka seperti kembali ke titik nol. Kartu pendidikan pun mandek sejak 2020 karena tak punya dasar hukum. Anggaran Rp 3,5 miliar dari APBD Bolmut 2019 tak pernah benar-benar menyentuh anak miskin. Tanpa Peraturan Bupati, semua cuma rencana. “Kartu ideal” menjadi simbol dari janji yang tak ideal.
Lalu, benarkah Bolmut sudah menjadi daerah otonom yang ideal?
Setelah sepuluh tahun dua pemerintahan, muncul gelombang baru. Anak-anak muda merebut hampir setengah kursi DPRD, lalu memunculkan pasangan kepala daerah termuda: Sirajudin Lasena dan Aditya Pontoh. Mereka memakai jargon “SIAP”. Semoga bukan sekadar akronim yang mudah lupa.
Karena kenyataannya, pekerjaan rumah tak pernah sedikit. Pemerintahan ini harus siap keluar dari zona nyaman. Harus berani mendobrak—bahkan jika kebijakan yang diambil tidak populer. Mereka harus siap kembali ke Gunung Gulantu, membuka Balai Pendidikan Inomunga yang mati suri, menghidupkan Pelabuhan Tuntung, Bendungan Sangkub, dan revitalisasi irigasi, waduk, jalan, serta jembatan yang menghubungkan hajat hidup orang banyak.
Pemerintahan ini juga harus melihat laut dan wisata sebagai tambang baru. Tak sekadar panorama untuk brosur, tapi sebagai penopang PAD yang terancam oleh illegal fishing dan pengeboman laut. Harus ada jaminan dan infrastruktur yang melindungi nelayan, juga ruang bagi anak muda yang selama ini membersihkan pantai secara sukarela.
Buruh, tani, nelayan: mereka butuh regulasi yang membela. Bukan sekadar dokumen, tapi jaminan atas upah, kesehatan, lahan, dan lapangan kerja.
Tak kalah penting, Bolmut butuh lembaga pendidikan tinggi. Bukan hanya demi status, tapi sebagai investasi jangka panjang pembangunan manusia. Institut, politeknik, sekolah tinggi—apa pun bentuknya, asal bukan rencana yang kembali jadi tumpukan kertas tak berguna.
Pemerintahan ini harus siap berhenti berbangga pada dokumen kerja sama dan penghargaan yang hanya tercetak di piagam.
Karena itu, di usia ke-18 ini, patut kita bertanya kembali: apa yang kita rayakan? Jika Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah janji, apakah ia sudah ditepati oleh para pemimpin kita—yang dulu, kini, dan nanti?
Descartes mengajarkan kita meragukan segalanya agar sampai pada kebenaran. Maka, mari terus bertanya. Mari terus meragukan. Karena hanya dengan itu, kita bisa tetap waras sebagai warga negara.
Dirgahayu ke-18 Bolaang Mongondow Utara. Semoga daerah ini terus maju, masyarakat sejahtera, dan pembangunan berjalan berkelanjutan.
Tentang Penulis
Irawan Rahman lahir di Bigo pada 20 September. Ia kini berdomisili di Desa Tuntung, Kecamatan Pinogaluman, Bolaang Mongondow Utara. Aktif dalam gerakan kepemudaan, Irawan menjabat sebagai Wakil Ketua DPD II Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Bolmong Utara, dengan fokus pada isu-isu buruh, tani, dan nelayan—tiga sektor yang menurutnya menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pedesaan.

Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar