Bolmut dan Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Opini & Analisis346 Dilihat

Oleh: Drs. Hi. Amin Lasena, MAP (Ketua DPC PDI perjuangan, Mantan Wakil Bupati Bolmut)

Gotong royong, inilah intisari dalam Pancasila. Itulah jiwa yang mestinya hidup dalam nadi bangsa ini—termasuk di Bolmut. Ia bukan sekadar konsep normatif yang tertera dalam pidato-pidato kenegaraan atau tertulis di lembar konstitusi. Gotong royong adalah denyut kebudayaan Nusantara, jauh sebelum republik ini lahir. Di ladang-ladang padi Jawa, di rumah-rumah panggung Sulawesi, di kampung-kampung adat Papua, gotong royong menjadi sistem sosial yang membuat masyarakat bertahan tanpa negara, tanpa birokrasi.

Bung Karno menyebutnya sebagai “soko guru dari Pancasila”. Dalam pidato 1 Juni 1945, ia tak ragu menjadikan gotong royong sebagai kristalisasi dari seluruh sila: kebersamaan yang menjunjung kemanusiaan, mengayomi keadilan, menghormati perbedaan, dan mendahulukan musyawarah. Bagi Bung Karno, gotong royong adalah jalan hidup bangsa—“bukan gotong-gotongan,” katanya dengan jenaka.

Namun hari ini, semangat itu kian meredup. Digerus oleh sekat-sekat politik yang kian mengeras, dan  dan luka masa lalu yang tak kunjung sembuh. Di Bolmut, kata “bersama” mulai kehilangan daya hidupnya. Yang dulu berarti gotong royong dan saling menopang, kini lebih sering ditafsirkan sebagai kelompok-kelompok kecil yang saling curiga.

Alih-alih mencari titik temu, kita justru sibuk mempertebal garis pemisah. Energi kolektif yang seharusnya digunakan untuk merawat kampung halaman tersedot habis demi mempertahankan ego kelompok dan sisa dendam politik. Kita lebih giat memelihara rasa “berseberangan” daripada membangun rasa “sepenanggungan”. Maka jangan heran jika kemajuan terasa lambat, sebab bahu yang semestinya saling menguatkan kini justru saling menjauh.

Delapan belas tahun bukan usia yang pendek bagi sebuah daerah. Bolaang Mongondow Utara telah melewati empat kali pemilihan kepala daerah. Tapi seperti luka yang terus digaruk, dendam politik dari tiap kontestasi tak kunjung sembuh. Yang kalah memilih menjauh, sementara kelompok pemenang seolah sibuk membangun benteng pertahanan. Pembangunan pun berjalan pincang—tersandera ego masa lalu yang belum usai diurai.

Baca Juga  18 Tahun Bolmut: Otonomi yang Diuji, Janji yang Tertunda

Di kampung-kampung, warga masih terbagi dalam barisan lama: pendukung si ini, pendukung si itu. Bukan hal aneh jika seseorang tiba-tiba enggan ikut kerja bakti hanya karena yang menggerakkan berasal dari “kubu seberang”. Gotong royong menjadi barang mahal. Semangat kebersamaan digantikan bisik-bisik saling curiga.

Padahal, di usia ke-18, Bolmut seharusnya mulai dewasa. Seperti remaja yang dituntut mengambil keputusan sendiri, daerah ini semestinya mampu menentukan arahnya, membangun dengan kepala dingin dan dada lapang. Tapi perilaku sosial kita belum sampai ke sana. Kita masih terpaku pada nama, bukan pada kerja. Pada simbol, bukan substansi.

Saya menulis ini dengan kepala tertunduk. Bukan semata mengkritik orang lain, tapi juga diri sendiri. Saya bagian dari dunia politik Bolmut. Saya tahu bagaimana dinamika itu bergerak. Saya pun pernah ikut memelihara ketegangan, meski dalam hati saya paham: cara seperti itu tak akan membawa kita ke mana-mana.

Tantangan kita ke depan tidak main-main. Dunia bergerak cepat. Krisis global, perubahan iklim, kompetisi antarwilayah — semua menuntut kita untuk tanggap, adaptif, dan kompak. Tapi bagaimana mungkin kita bisa berlari jika kaki kita masih terikat pada dendam masa lalu?

Bolmut tidak kekurangan orang pintar. Tidak kurang pula tokoh yang punya niat baik. Yang kurang adalah keinginan tulus untuk duduk bersama, menyusun ulang jalan. Kita butuh budaya baru: saling menjemput, bukan saling menunggu. Saling memperkuat, bukan saling melemahkan.

Dalam bahasa lokal, ada ungkapan: mairu mo sosobotu mai. Kita tak akan sampai jika berjalan sendiri. Gotong royong bukan slogan, tapi jalan hidup. Bukan milik satu kelompok, tapi napas bersama.

Dirgahayu Bolmut ke-18. Semoga tahun-tahun mendatang tidak lagi dikepung bayang-bayang kekalahan, melainkan keberanian melupakan masa lalu dan membangun bersama, walau tidak lagi duduk di kursi kekuasaan.

Pada hari sakral 23 Mei 2025 ini, saya menyampaikan permohonan maaf karena belum dapat hadir bersama masyarakat Bolmut merayakan momen penting ini. Hingga tanggal 23 Mei, saya masih berada di luar wilayah Bolmut.

Komentar