Oleh: Ramdan Buhang
Segalanya bermula dari fitnah. Tuduhan keji yang dilemparkan begitu saja. Saya tidak akan membahas ulang detailnya. Yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana rasanya menjadi korban dua kali: pertama oleh fitnah, dan kedua oleh sistem hukum yang tak kunjung bergerak.
Saya bukan orang yang anti proses hukum. Justru sebaliknya. Sebagai warga negara dan juga jurnalis, saya percaya bahwa segala persoalan harus diselesaikan lewat jalur konstitusional. Maka itulah yang saya tempuh. Saya melaporkan fitnah tersebut ke Polres Bolmut ke Polres Bolaang Mongondow Utara dan berharap Kapolres Bolmut, AKBP Juleigtin Siahaan, melalui jajarannya menindaklanjuti laporan tersebut sesuai prosedur. dan Saya menaruh harapan besar.
Tapi dua bulan berlalu, tak ada perkembangan. Tak satu pun SP2HP saya terima. Saya menghubungi penyidik berulang kali—dengan sabar, dengan niat baik—namun hanya dibalas dengan berbagai alasan. Laporan saya seolah hilang ke dalam lubang sunyi.
Di titik itu, saya mulai bertanya: kepada siapa lagi saya bisa mengadu, jika lembaga yang mestinya menegakkan keadilan justru tak menggubris?
Karena hukum tak bicara, saya memilih jalan sendiri. Saya dan Boby berdiri berhadapan, menyelesaikan perkara kami dengan cara yang, saya akui, salah. Ini bukan sikap bijak: dua orang dewasa yang kehilangan akal sehat karena hukum tak lagi hadir sebagai penengah.
Tapi melalui itu, saya ingin menyampaikan satu pesan. Ini bukan sekadar soal ego atau amarah. Ini jeritan frustrasi kepada institusi yang seharusnya bekerja, namun memilih diam. Pesan saya sederhana: jika negara tidak melindungi warganya, maka warga akan mencari perlindungan dengan cara mereka sendiri. Kadang, cara itu tidak elok. Tapi itulah akibat dari diamnya aparat.
Mungkin saya bukan satu-satunya. Bisa jadi, di luar sana, ada kasus yang jauh lebih kompleks—lebih menyakitkan—yang juga diabaikan. Laporan yang tak ditindaklanjuti, aduan yang dibiarkan menumpuk, harapan yang perlahan berubah jadi kemarahan. Kita hidup dalam sistem yang menuntut warga taat hukum, tapi tak memberi jaminan bahwa hukum akan hadir membela mereka.
Saya tidak sedang membanggakan kekerasan. Saya justru menyesali harus sampai pada titik ini. Tapi realitasnya, kami dibiarkan berjalan sendiri—tanpa kepastian, tanpa perlindungan. Dan saat hukum kehilangan wibawanya, maka kekacauan akan mengambil alih.
Semoga ini jadi cermin. Bukan hanya untuk saya, tapi juga bagi lembaga penegak hukum di daerah ini. Karena ketika keadilan tidak ditegakkan, maka rakyat tak punya pilihan selain berbicara dengan caranya sendiri. (*)

Meniti karier sebagai Jurnalis sejak 2010, berkomitmen pada dunia jurnalistik. Merekam jejak, mengungkap fakta, dan menyajikan cerita dengan perspektif berbeda.
Komentar